Perubahan Iklim saat ini menjadi isu yang penting, tidak hanya untuk terus dibahas, tapi juga bagaimana kita juga ikut berperan dalam penanggulangan perubahan iklim ini. Perlu diketahui juga, di saat masyarakat wilayah perkotaan menjadi penyumbang emisi dan gas karbon, ada pihak yang selalu ada di garda terdepan pelestarian alam namun tidak pernah mendapatkan perhatian, mereka adalah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal.
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal merupakan penyumbang terbesar bagi pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati, apalagi sudah jelas didokumentasikan, ada 80% keanekaragaman hayati yang dikelola dan dilindungi oleh MAKL.
Penelitian World Resources Institute tahun 2016 menunjukkan bahwa di mana MAKL diberikan hak untuk mengelola lingkungannya, di situlah laju deforestasi lebih rendah dibandingkan kawasan serupa yang tidak dikelola oleh MAKL.
Dengan adanya urgensi mengenai perubahan iklim dan masyarakat adat dan komunitas lokal ini, Eco Blogger Squad dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) beberapa waktu lalu menyelenggarakan online gathering dengan tema ‘Peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dalam Menjaga Bumi’ dengan pembicara Sekjen AMAN, Kak Rukka Sombolinggi.
AMAN sendiri merupakan organisasi kemasyarakatan independen yang memiliki visi mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera untuk masyarakat adat di Indonesia. AMAN bekerja di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk mengadvokasi masyarakat adat.
Siapa Masyarakat Adat di Indonesia/Nusantara?
Dalam acara online gathering tersebut, Kak Rukka menjelaskan mengenai siapa itu masyarakat adat yang ada di Indonesia/Nusantara ini. Masyarakat Adat merupakan sekelompok manusia yang oleh ikatan geneologis dan/atau teritorial yang menyejarah, turun temurun lintas generasi, memiliki identitas budaya yang sama dan mempunyai ikatan batin yang kuat atas suatu ruang geografis tertentu sebagai wujud ‘rumah bersama’ yang dijaga serta dikelola secara turun temurun sebagai wilayah kehidupan leluhurnya.
Ikatan batiniah serta kesetiaan yang mengakar kuat antara Masyarakat Adat dengan wilayah adatnya ini akhirnya membentuk kosmologi, budaya, serta kehidupan spiritual mereka tak bisa dipisahkan dari alam semesta di sekitarnya.
Kekuatan Masyarakat Adat sebagai penjaga bumi dan pelindung hutan ini sudah teruji dan terbukti ketika dunia menghadapi krisis global, dan salah satunya ketika pandemi covid 19 melanda. Sayangnya, Masyarakat Adat sendiri perlahan tersingkir dalam derap industrialisasi sejak 250 tahun lalu bersamaan dengan modernisasi yang menyertainya.
Tanah dan Masyarakat Adat
Masyarakat Adat memandang tanah yang didiaminya sebagai identitas. Sebagai contoh masyarakat Toraja yang memiliki sejarah dan keberadaan tanah yang dimiliki secara turun temurun. Di Toraja ada disebutkan sikap ‘Talulolonan’, di mana tiga bersaudara (manusia, hewan dan alam) harus saling menjaga
Masyarakat Adat sendiri saat ini berbeda-beda, ada yang masih tinggal di pedalaman, namun ada juga yang tanahnya sudah berubah menjadi perkotaan, ada yang hidup di hutan, di laut, daerah danau, sabana. Jadi, hutan memang bukan satu-satunya tempat Masyarakat Hidup.
Apalagi Masyarakat Adat di Indonesia memiliki sejarah yang berbeda-beda, misalnya Masyarakat Adat yang tinggal di dekat pesisir akan lebih cepat tergerus peradabannya karena memang wilayah pesisir atau pelabuhan menjadi pintu masuk colonialism.
Bersama berdirinya rezim Orde Baru, keberadaan Masyarakat Adat menjadi diseragamkan dengan adanya penyebutan ‘Desa’ dengan UU 5 Tahun 1979 hingga akhirnya membuat situasi Masyarakat Adat saat ini semakin tergusur dari wilayahnya sendiri.
Dalam buku ‘Kisah Masyarakat Adat Memperjuangkan Tanah Ulayat’ yang diterbitkan oleh TEMPO Publishing menyebutkan bahwa Para tetua adat di jantung Kalimantan tak bisa berkutik saat menghadapi dominasi pengusaha kayu, di mana mereka memiliki ‘senjata’ berupa hak pengusahaan hutan.
Masyarakat Adat yang tadinya hidup dalam wilayah dan ruang lingkup yang luas dan menganggap tanah di sekitar mereka adalah warisan nenek moyang, akhirnya hanya bisa menonton dan terpaku melihat wilayah adat ditebang dan dilenyapkan.
Padahal, tanah bagi masyarakat adat bukanlah sekadar sumber ekonomi, namun juga mempunyai dimensi magis yang mencakup masa lalu, kini, dan mendatang, termasuk di dalamnya adalah aspek keseimbangan alam.
Setelah Indonesia merdeka, jumlah tanah Masyarakat Adat berkurang sangat drastis. Contohnya saja di wilayah Sumatera Utara, luas tanah adat awalnya 325 ribu hektare. Kemudian tahun 1960-an merosot menjadi 125 ribu hektare dan di tahun 1970-an tersisa 50-60 ribu hektare saja, dan pastinya di tahun sekarang ini jumlah tanah adat semakin sempit.
Keistimewaan dan Potensi Ekonomi Masyarakat Adat di Indonesia
Wilayah Adat memiliki potensi sumber daya yang luar biasa potensial, baik itu Sumber Daya Alam, kebudayaan, spiritual, ekonomi, dan politik. Beragam tradisi, bahasa, dan kebudayaan sangat indah, namun menurut Kak Rukka, yang terbaik adalah masyarakat adat masih menjaga alamnya.
Menjaga ekosistem terbaik itu indah untuk masyarakat adatnya dan lebih indah lagi untuk orang lain di luar masyarakat adatnya. “Udara yang kita hirup di Jakarta (kota besar) berasal dari tempat lain. Inilah yang sering dilupakan dan tidak pernah dihargai, betapa besar kontribusi masyarakat adat dan bahkan menyebut masyarakat adat sebagai masyarakat primitif,” tukas Kak Rukka.
Masyarakat Adat Karampuang dan Konservasi Hutan
Ada banyak Masyarakat Adat yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Masyarakat Adat Karampuang yang berada di Sulawesi Selatan yang terletak di pantai timur bagian selatan Jazirah Sulawesi Selatan.
Karampuang terletak di Dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.
Masyarakat Adat Karampuang adalah bagian sub etnis Bugis yang bermukim di Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Masyarakat Desa Tompobulu berasal dari dua kelompok sosial yang berbeda dari segi sosial budaya dan kepercayaan, yaitu komunitas adat Karampuang dan Masyarakat Bugis yang beragama Islam.
Sejak dulu, Masyarakat Adat Karampuang ini mempunyai warisan kebudayaan leluhur yang kemudian menjadi pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya ialah kebudayaan untuk senantiasa menjaga dan melestarikan alam, khususnya hutan.
Masyarakat Adat Karampuang secara rutin menyelenggarakan ritual membersihkan lingkungan dan sumber air, kamudian mengadakan penghijauan. Bagi mereka, moralitas masyarakat adat karampuang bukan hanya menyangkut perilaku terhadap sesama, namun juga menyangkut hubungan mereka terhadap hutan.
Apabila sikap batin dan perilaku ada yang salah, kemudian merusak tatanan manusia dengan hutan, diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri dan komunitas Masyarakat Adat Karampuang.
Berikut ini adalah beberapa prinsip masyarakat adat Karampuang yang berkaitan dengan alam dan pengelolaan lingkungan hidup.
a. Mappakalebbi’ ale hanua (sikap hormat terhadap alam)
Sikap hormat di sini adalah Masyarakat Adat Karampuang tidak boleh menebang kayu di hutan untuk kepentingan ekonomi, apalagi melakukan tindakan yang bisa merusak serta menghancurkan hutan dan isinya.
b. Jujung matane’ (prinsip tanggung jawab)
Kerusakan dan kelestarian hutan beserta isinya merupakan tanggung jawab Masyarakat Adat Karampuang. Misalnya apabila terjadi kebakaran hutan, maka seluruh Masyarakat Adat Karampuang memiliki tanggung jawab untuk memadamkan api meskipun sumber airnya jauh.
c. Mappakatau ale’ (memanusiakan hutan)
Dengan sikap memanusiakan hutan ini adalah pengendali moral dalam masyarakat hutan agar tidak merusak dan mencemari hutan juga kehidupan di dalamnya.
d. Makkamase ale’ (prinsip kasih sayang dan kepedulian)
Semua pihak selalu mengajak masyarakat untuk selalu menyayangi hutan, karena jika bukan mereka yang menjaga hutan maka hutan nantinya akan habis dengan sendirinya.
e. De’namakkasolang (prinsip tidak merusak)
Prinsip tidak merusak mempunyai fungsi untuk memunculkan kesadaran bagi masyarakat adat Karampuang dengan mematuhi larangan-larangan terhadap hutan.
f. Tuo kamase mase (prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam)
Masyarakat Adat Karampuang sangat menjauhi sikap rakus dan tamak yang hanya mengumpulkan harta dan mengeruk hasil hutan sebanyak-banyaknya. Masyarakat dilarang menggunakan hutan menjadi sawah untuk keperluan pribadi, mereka hanya diizinkan menggunakan lahan hutan untuk kepentingan bersama.
g. Adele’ (prinsip keadilan)
Prinisp keadilan berbicara tentang akses yang sama untuk semua kelompok dan anggota masyarakat yang ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan serta pelestarian hutan.
h. Assamaturuseng (prinsip demokrasi)
Prinsip demokrasi berbicara tentang kebijakan pemerintah terhadap proses pengelolaan hutan yang dilakukan Masyarakat Adat Karampuang.
Masyarakat Adat Karampuang juga memiliki kriteria dan jenis pohon yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adat Karampuang:
a. Umur Kayu
Umur kayu yang boleh ditebang harus lebih dari 15 tahun dan berdiameter minimal 40 cm. Dan dalam masyarakat Adat Karampuang, untuk Kayu Bitti, Kayu Ufang, dan Kayu Cendana hanya boleh digunakan untuk memeperbaiki rumah adat karena merupakan kayu yang kuat.
b. Izin Mengambil Hasil Hutan
Apabila masyarakat ingin mengambil hasil hutan, harus minta izin pada pemangku adat yaitu Gella. Apabila masyarakt mengambil hasil hutan tanpa izin, maka akan dikenakan sanksi.
c. Menanam Pohon Kembali
Sebelum menebang pohon, masyarakat adat Karampuang harus menanam pohon 10 buah sebagai ganti. Pohon yang ditanam tidak harus sama dengan pohon yang ditebang, tetapi harus masuk kategori pohon besar dan keras yang nantinya bisa digunakan untuk pembuatan rumah adat.
Melihat dari kebiasaan Masyarakat Adat Karampuang ini tentunya bisa ditarik kesimpulan bahwa betapa pentingnya tanah dan wilayah bagi masyarakat adat dan juga bisa dilihat bahwa masyarakat adat merupakan garda terdepan dalam pencegahan pemanasan global dan perubahan iklim.
Oleh sebab itu, kita harus terus mendukung Masyarakat Adat dan tidak mengucilkan mereka, atau bahkan menyebut mereka kuno dan primitif, karena pada dasarnya mereka adalah manusia yang memilih setia prinsip hidup bersama keseimbangan alam, hingga akhirnya membuat kita yang ada di kota besar masih menghirup udara segar yang berasal dari tanah-tanah adat dan hutan-hutan adat yang mereka jaga. (*)
Referensi:
- Online Gathering Eco Blogger Squad 06 April 2023
- Buku "Kisah Masyarakat Adat Memperjuangkan Tanah Ulayat", Pusat Data dan Analisis TEMPO, 2022
- Buku "Kearifan Lokal dalam Konservasi Hutan Masyarakat Adat Karampuang, Dr. Erman Syarif, S.Pd, M.Pd, Media Nusa Creative, 2019
Posting Komentar