Belajar sejarah dan budaya saat ini tidak hanya dari buku-buku, tidak hanya menghafalkan nama dan tahun saja, tidak pula hanya tentang kisah kerajaan dan peperangan saja.
Zaman yang dinamis sudah sampai di era digital, jika dulu tulisan hanya terpatri dalam prasasti, kemudian beralih ke daun lontar, hingga berabad kemudian tulisan-tulisan tercetak di buku. Maka di masa kini, tulisan-tulisan bisa dibaca dengan mudah lewat gawai.
Beralihnya akses belajar ilmu pengetahuan, termasuk juga belajar sejarah dan budaya inilah yang mendorong PANDI meluncurkan program Merajut Indonesia.
PANDI lewat Program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN) menyelenggarakan IG Live Bincang MIMDAN #8 dengan tema “Sejarah dan Budaya dalam Novela Platform Digital” pada 28 Juni 2022 dengan bintang tamu seorang novelis berbakat yang sudah menelurkan banyak karya, Eva Sri Rahayu dan dipandu oleh penulis novel Babad Kopi Parahyangan, Evi Sri Rezeki.
Eva Sri Rahayu sendiri sudah mulai menulis sejak kecil dan jatuh cinta dengan karya-karya fiksi bergenre fantasi, ia mulai mengirim naskah-naskah cerita ke media saat duduk di bangku SMA hingga kemudian ia mulai banyak menulis buku, baik fiksi dan nonfiksi di penerbit mayor.
Dari Buku ke Platform Digital
Sebelum internet bisa diakses dengan mudah di Indonesia, masyarakat memang lebih akrab dengan buku, koran atau majalah. Pembaca juga lebih banyak yang menikmati novel dan cerpen lewat karya cetak.
Hingga kemudian di 5 tahun terakhir ini, mulai bermunculan banyak platform digital yang bisa menjadi sarana untuk menulis dan membaca cerita.
Eva Sri Rahayu sendiri mulai menulis di platform online milik sebuah penerbit pada tahun 2018 yang berawal dari lomba menulis. Penyuka karya Seno Gumira Ajidarma ini kemudian menulis kembali karya kedua di platform online di tahun 2022.
Bincang MIMDAN #8 |
Penulis novel ‘Playing Victim’ ini mengungkapkan jika ada 2 sistem dalam penulisan platform diigital. Pertama, penulis bisa mempublikasikan karya secara mandiri tanpa disaring, dan yang Kedua, karya yang akan dipublikasikan harus melewati kurasi editor, tak jarang editor juga harus hunting penulis yang akan mempublikasikan karya di platform.
Perempuan yang akrab dipanggil Eva ini juga menjelaskan bahwa publikasi karya di platform yang memiliki editor hampir sama dengan penulisan karya di media konvensional dimana penulis bisa berdiskusi dengan editor untuk alur, plot, atau logika cerita.
Penulis Tidak Mati
Apabila seorang penulis ingin menerbitkan buku secara konvensional, maka naskah finalnya harus selesai ditulis terlebih dahulu. Hal ini tentunya berbeda dengan penerbitan karya di platform digital dimana penulis bisa menerbitkannya per bab.
Eva Sri Rahayu menjelaskan kalau penulis yang berkiprah di platform digital itu ‘tidak mati’, dimana ketika karya diunggah di platform digital, ada ruang interaksi antara pembaca dan penulis, sehingga para pembaca bisa memberi komentar bahkan request untuk alur cerita selanjutnya, dan komentar dari pembaca ini bisa jadi amunisi untuk ide-ide di bab selanjutnya.
Genre Fiksi Sejarah, Budaya, dan Mitologi
Menjadi suatu hal yang menarik tatkala Eva Sri Rahayu yang sebelumnya banyak menulis genre remaja populer, beralih menuliskan genre fiksi sejarah, budaya dan mitologi dalam karya novela terbarunya ‘Labirin 8’.
Ilustrasi Labirin 8 |
Eva menuturkan bahwa di periode sebelum tahun 2019, ia banyak mengalami tantangan kehidupan serta konflik batin yang membuatnya berada di titik nadir. Hal ini akhirnya membawanya ke pencarian jati diri, hingga akhirnya ia bergabung dengan komunitas budaya dan menemukan keindahan kebudayaan.
Dari itu juga, saudara kembar dari Evi Sri Rezeki ini juga menemukan sebuah falsafah hidup, dimana keindahan kebudayaan yang menghargai individu. Ia juga berpikir bahwa wujud tertinggi dari mencintai sesuatu itu adalah dengan menciptakan karya, maka Eva akhirnya memilih untuk menulis novela bergenre sejarah dan budaya.
Dari menulis novela Labirin 8 ini, Eva tak hanya menyelami sejarah, namin juga mempelajari banyak disiplin ilmudan akhirnya mengantarkannya pada perubahan hidup yang lebih baik.
Gagasan Labirin 8
Bincang MIMDAN #8 lalu tersebut juga mengungkap darimana gagasan novela ‘Labirin 8’ ia temukan pertama kali. Ternyata hal ini tidak lepas dari kisah suaminya yang melakukan perjalanan ke Candi Borobudur dan masuk ke dalam ruang bawah tanah candi tersebut. Hingga kemudian tercetuslah ide untuk menjadikan ruang bawah tanah Candi Borobudur ini sebagai set utama dalam Labirin 8.
Dalam novela ini, Eva tidak hanya menjadikan sejarah dan budaya yang berkaitan dengan Candi Borobudur sebagai tempelan saja, namun ia juga menjadikannya sebagai penggerak cerita. Baginya, penulis yang ingin menuliskan karya yang berkaitan dengan sejarah dan kebudayaan haruslah memiliki misi budaya dalam dirinya, bukan hanya menjadikan budaya sekadar nama dan hiasan belaka.
Riset untuk Labirin 8
Sebenarnya Eva sendiri sudah menjalankan riset untuk karya ini sejak tahun 2019. Penggemar karya fantasi Rick Riordan ini menuturkan bahwa ia menjalankan riset dengan turun langsung ke lapangan, datang ke candi-candi, melakukan wawancara, melakukan literasi digital lewat tontonan youtube, juga membaca buku-buku yang berkaitan dengan Candi Borobudur.
Bagi Eva, riset dalam pembuatan sebuah karya sangatlah penting, karena hal ini akan mendukung pembuatan karya lebih maksimal, dari premis, pengkarakteran, sinopsis, serta struktur plot sehingga tidak ada plot hole.
Eva juga memberikan pesan bagi mereka yang ingin menulis karya dengan unsur budaya atau sejarah, maka harus memiliki kepedulian dengan kebudayaan sehingga tahu apa yang mau disuarakan dalam karya lokal.
Seperti diketahui juga, bahwa hingga saat ini masih ada stigma negatif terhadap beberapa unsur kebudayaan. Sehingga ke depannya diharapkan karya-karya berunsur budaya dapat memberikan edukasi agar tidak ada lagi salah kaprah ketika memandang suatu kebudayaan dan dapat meluruskan arti penting kebudayaan untuk kehidupan (*)
Posting Komentar