Gerakan Literasi Sekolah (GLS) mulai dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016. Gerakan ini memiliki tujuan yang sangat bagus, seperti pemberantasan buta aksara, peningkatan minat baca, serta peningkatan budaya literasi masyarakat.
Namun, setelah 5 (lima) tahun berselang, gerakan ini bisa dikatakan hanya jalan di tempat. Tak banyak sekolah di Indonesia yang berhasil melaksanakan gerakan ini. Ada banyak faktor yang menjadi penyebab kenapa gerakan ini tidak punya gaung, bahkan jika siswa atau siswi ditanya mengenai gerakan ini, bisa jadi banyak yang tidak tahu.
Quo Vadis Gerakan Literasi Sekolah
Lalu, mau dibawa kemana Gerakan Literasi Sekolah ini? Apa hanya berlaku seremonial belaka dengan adanya Pekan Literasi yang hanya satu minggu setiap tahunnya?
Gerakan Literasi Sekolah seharusnya menjadi program yang harus terus menerus dikawal dan tidak boleh diabaikan. Apalagi dengan adanya GLS ini banyak harapan yang ditumpukan, seperti berkembangnya Sumber Daya Masyarakat di Indonesia.
Harus diingat juga, beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mengalami bonus demografi, dimana Indonesia memiliki jumlah masyarakat dengan usia produktif yang cukup banyak. Beberapa tahun lagi, mereka yang berada di usia produktif atau di usia kerja, merupakan siswa sekolah di masa sekarang. Apa jadinya jika mereka tidak dibekali dengan literasi yang memadai?
Ranking PISA dan Masa Depan Literasi di Indonesia
Pada tahun 2019, ranking PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan Indonesia berada pada urutan ke-62 dari 70 negara, atau sama artinya dengan termasuk ke dalam 10 negara dengan tingkat literasi paling rendah.
Berdasarkan standar UNESCO, setiap orang seharusnya memiliki minimal 3 buku baru setiap tahunnya. Sedangkan di Indonesia sendiri rasio total jumlah bacaan pertahunnya hanya 0,09. Apalagi dibandingkan dengan negara Asia Timur seperti Jepang, China, dan Korea yang setiap orang rata-rata mempunyai 20 buku baru setiap tahunnya, tentunya tingkat jumlah bacaan orang Indonesia sangatlah timpang.
Lalu, kenapa masyarakat Indonesia tidak gemar membaca buku? Ada banyak sebab sebenarnya, beberapa diantaranya seperti berikut ini:
1. Buku Bukanlah Kebutuhan Penting
Masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap bahwa buku bukanlah benda yang penting untuk dimiliki. Buku hanya berguna saat sekolah atau kuliah, jika sudah lulus atau bekerja buku tidaklah penting. Padahal ada banyak jenis buku di dunia ini, namun bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, buku yang penting dan berguna hanyalah buku pelajaran.
2. Harga Buku Mahal
Tidak bisa dipungkiri bahwa harga buku memang termasuk mahal, maka tidak semua orang bisa memiliki buku dengan mudah. Apalagi toko buku-toko buku kebanyakan hanya tersedia di kota-kota besar saja, tentunya semakin menjadikan masyarakat semakin jauh jaraknya dengan buku. Meskipun saat ini sudah terbantu adanya toko buku online, namun tetap saja ada rasa yang berbeda ketika kita masuk ke toko buku kemudian berjalan di antara banyak buku sambil mencium wangi buku-buku baru.
3. Distribusi Buku Tidak Merata
Distribusi buku di Indonesia tidaklah merata, selain karena penerbit dan percetakan buku mayoritas berada di Pulau Jawa, juga karena ongkos kirim buku ke berbagai wilayah Indonesia sangatlah mahal, terutama untuk tujuan di luar Pulau Jawa, karena sering terjadi ongkos kirimnya lebih mahal daripada harga bukunya.
Beberapa waktu lalu, sempat ada angin segar dari pemerintah dengan adanya pengiriman buku gratis ke Taman Baca Masyarakat ke seluruh Nusantara yang dilayani oleh PT. Pos Indonesia. Namun, kebijakan tersebut tidak berlangsung lama, hal ini konon terjadi karena banyaknya orang yang menyelewengkan layanan ini dengan mengirimkan buku ke perseorangan, bukan ke Taman Baca Masyarakat.
4. Bukan Kebiasaan yang Populer
Membaca bukan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat Indonesia, bahkan orang yang gemar membaca banyak dianggap sebagai kutu buku dan susah bergaul. Orang Indonesia secara turun-temurun juga lebih banyak memiliki tradisi lisan dalam perkembangan budaya seperti dongeng dan legenda, ini juga bisa menjadi faktor tidak populernya kebiasaan membaca bagi masyarakat Indonesia.
Indonesia Darurat Membaca
Meski minat baca buku masyarakat Indonesia rendah, namun berdasarkan data dari wearesocial per Januari 2017, masyarakat Indonesia rata-rata menatap layar gadget kurang lebih 9 jam/hari.
Pernah lihat bagaimana berita-berita clickbait begitu ramai dengan komentar yang bahkan sangat jauh dari isi beritanya? Ya, ini karena Indonesia sudah darurat membaca, bahkan hanya sekadar meng-klik link beritanya saja. Hanya dengan membaca judul berita atau artikelnya saja sudah langsung merasa yakin bahwa isi beritanya senada dengan judulnya. Maka tidaklah heran jika masyarakat Indonesia menjadi sasaran empuk provokasi dan penyebaran hoaks.
Sepertinya sudah tidak terhitung jumlahnya, netizen Indonesia yang akhirnya harus berurusan dengan kepolisian karena dianggap melakukan provokasi dan menyebarkan berita bohong lewat media sosial.
Sampai kapan situasi ini harus terus dipelihara? Ingat, Indonesia sudah mengalami situasi darurat membaca, sekarang kitalah yang harus bisa mengubah situasi tersebut.
Mulai dari Guru
Mengingat masyarakat Indonesia masih sedikit yang aware dengan masalah literasi, maka membangkitkan semangat literasi bisa dimulai dari sekolah. Siapa yang memulai, jawaban terbaiknya tentu adalah mulai dari guru.
Guru menjadi motor penggerak pendidikan di sekolah, selain itu guru juga menjadi orang yang paling dekat dengan siswa, jadi guru harus bisa menjadi role model literasi bagi para siswanya.
Saya masih ingat, saat saya masih duduk di kelas 3 SD, wali kelas saya membawa sebuah kardus besar berisikan buku-buku cerita bantuan dari pemerintah. Ya, wali kelas saya harus susah payah menggotong kardus ke dalam kelas, karena sekolah saya berada di kampung dengan ruangan yang minim sehingga tidak memiliki ruang perpustakaan.
Di dalam kardus yang dibawa oleh guru saya, ada banyak sekali buku cerita yang bisa kami pilih dan kami baca. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya memilih salah satu buku yang bercerita tentang seorang anak yang pergi haji bersama orang tuanya.
Saat itu, ada rasa bahagia yang membuncah di dada, itu pertama kalinya saya membaca buku cerita, karena orang tua memang tidak memiliki cukup uang untuk membelikan saya buku cerita atau mendaftarkan diri untuk berlangganan majalah.
Meski begitu, karena satu buku cerita itulah, saya kemudian jatuh cinta pada membaca. Ternyata memang benar apa yang dikatakan oleh Najwa Shihab, “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta!”
Dari pengalaman saya waktu kecil itulah, saya yakin bahwa guru bisa menjadi jembatan terbaik untuk mengenalkan literasi pada siswanya, beberapa di antaranya dengan cara berikut:
1. Bangun Lingkungan Ramah Literasi
Guru bisa membangun lingkungan ramah literasi dan semua itu bisa dimulai dari kelas. Misalnya saja setiap seminggu sekali, Guru mengajak siswa untuk belajar di perpustakaan dan minta siswa untuk mencari buku yang mereka sukai di luar buku pelajaran. Biarkan anak bereksplorasi dan jadilah jembatan untuk anak agar ia bisa jatuh cinta dengan buku.
2. Kenalkan Nama-nama Penulis
Siswa bisa jadi lebih kenal nama-nama artis atau idol dibandingkan nama-nama penulis. Maka dari itu, guru bisa mulai mengenalkan nama-nama penulis dan buku-buku yang ditulisnya. Kenalkan bahwa penulis tidaklah kuno dan membaca bisa menjadi sesuatu hal yang mengasyikkan.
3. 1 Bulan 1 Buku
Bentuk klub buku dan minta siswa untuk membaca minimal 1 buku setiap bulannya, terserah buku apa saja yang penting cocok untuk usianya (bisa novel, buku motivasi, atau buku ensiklopedia) dan berikan hadiah bagi siswa yang paling banyak membaca buku di akhir tahun pelajaran.
4. Tugas Literasi
Manfaatkan teknologi untuk memberikan tugas literasi, salah satunya ialah dengan menggunakan platform mengajar KOCO Schools. Guru bisa mengunggah tugas-tugas literasi seperti puisi atau cerpen dengan lebih mudah lewat KOCO Schools.
5. Membaca Bersama
Adakan kegiatan membaca bersama, dimana setiap siswa bisa meminjam buku pilihan mereka di perpustakaan kemudian membaca buku yang dipinjam dalam waktu bersamaan. Biasanya, siswa akan lebih suka melakukan kegiatan bersama-sama daripada sendirian.
6. Berikan Contoh
Sebelum meminta siswa untuk membaca buku, tanyakan terlebih dulu pada diri sendiri, sebagai guru, apakah sudah rajin membaca buku setiap harinya? Jika belum, ayo mulai giatkan membaca dan berikan contoh konkret pada siswa.
Itulah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menguatkan Gerakan Literasi Sekolah dimana guru menjadi ujung tombak sukses tidaknya gerakan tersebut. Sebagai Guru Abad 21, tentunya guru harus bisa mengawal anak-anak mengarungi zaman dan memberikan bekal masa depannya dengan kebiasaan baik membaca buku. (*)
Posting Komentar