Judul : Jurai (Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian)
Penulis : Guntur Alam
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Maret 2013
Tebal : 298 halaman
Harga : Rp 58.000,-
ISBN : 978-979-22-9338-8
Jurai
merupakan novel pertama yang ditulis oleh Guntur Alam, penulis asal Sumatera Selatan. Kisah dalam novel ini dimulai dari tokoh Catuk yang ditimpa kemalangan
karena Ebak (Ayah) nya meninggal dunia. Kehilangan yang amat menyakitkan
dirasakannya, apalagi ia sebagai satu-satunya lelaki di Limasnya dipaksa
menjadi dewasa lebih cepat saat usianya baru 10 tahun. Ia harus menjadi
pemimpin dan pelita bagi Emak dan ketiga kakak perempuannya.
Kematian
Ebaknya itu mengingatkan Catuk tentang Jurai, sejenis garis kehormatan dalam
keluarga. Di kampungnya Tanah Abang, Muara Enim, Sumatra Selatan memang ada
kepercayaan jika seorang anak lelaki mewarisi raut wajah Ebaknya, maka salah
satu diantaranya akan berumur pendek. Tersebab mereka seperti bertarung berebut
tempat dan salah satu di antaranya harus ada yang kalah (hal 8).
Belum
tuntas kesedihannya karena kepergian Ebaknya, Catuk dan keluarganya harus
didera kepedihan lain yang seakan datang bertubi-tubi. Dari rahasia kematian
Ebaknya yang ternyata bukan disebabkan karena diseruduk babi hutan saat
menyadap karet, melainkan karena ditabrak motor oleh anak juragan kebun karet
hingga rahasia jika Ebaknya ternyata memiliki istri lain tanpa sepengetahuan
Emak dan anak-anaknya (hal
115-132). Kenangan Catuk tentang Ebaknya menjadi cacat ketika didapatinya jika
Ebaknya tak ‘sebersih’ yang dikiranya.
Pengkhianatan
itu menyebabkan luka yang lebar dalam hati Emak Catuk. Emak limbung dalam
keputusasaan, merasakan jika ia menjadi perempuan tak berguna, terlebih saat ia
tahu jika suaminya mencari istri baru adalah untuk memiliki anak lelaki yang
dianggap menjadi kebanggaan keluarga. Catuk sebagai anak lelaki bungsu
menyalahkan dirinya kenapa ia tak lahir sebagai anak pertama hingga Ebaknya tak
perlu menikah lagi.
Di tengah permasalahan yang tak ada habisnya, Catuk
melihat Emak yang akhirnya kembali bangkit dan terus bekerja demi menyekolahkan
semua anak-anaknya. Meski ditentang oleh orang tuanya yang mengatakan jika anak
perempuan tak perlu sekolah tinggi, namun hal itu tak menyurutkan semangat
Emak.
Baca Juga: Happy Little Soul, Belajar Jadi Sahabat Anak
Serupa Tapi Tak Sama
Hampir
serupa dengan novel inspiratif lain, novel ini bercerita tentang menggapai
impian di tengah kesulitan. Novel Jurai ini mengisahkan perjuangan menggapai
mimpi-mimpi di tengah kehidupan yang miskin, serba kesulitan dan banyak
disepelekan oleh orang-orang.
Guntur
Alam yang menggunakan sudut pandang tokoh Catuk, anak berumur 10 tahun, menjadi suatu hal yang berbeda dalam novel yang
terbagi dalam 27 bab ini. Karena pemakaian sudut pandang Catuk ini pula, ada
kekhasan kisah anak-anak yang hadir, seperti saat ia ingin memiliki sepatu baru dan keriangannya saat pertama kali mengunjungi
kota kabupaten Muara Enim.
Namun, ada bagian kisah Catuk dan teman-teman SD nya
menjadi terlihat dipaksakan atau terlalu berlebihan ketika diceritakan tentang
tokoh Catuk yang jatuh cinta pada siswa SD dari kampung lain.
Namun, ada bagian kisah Catuk dan teman-teman SD nya
menjadi terlihat dipaksakan atau terlalu berlebihan ketika diceritakan tentang
tokoh Catuk yang jatuh cinta pada siswa SD dari kampung lain.
Dalam
novel yang bersetting di sebuah dusun kecil di Muara Enim Sumatera Selatan ini,
sayangnya Guntur Alam tak terlalu mengeskplore budaya lokal masyarakat
setempat. Guntur Alam hanya sedikit menuliskannya dalam cerita tentang ritual tahlilan
empat puluh hari dan seratus hari kematian, yang mana hal itu sudah lumrah
dilaksanakan oleh hampir semua masyarakat di Indonesia hingga tidak menjadi
sesuatu yang istimewa.
Konflik
tentang Jurai dalam keluarga yang dianggap tokoh utama menjadi penyebab
kematian Ebaknya hanya menjadi konflik batin tokoh utama saja, tidak dieskplore
menjadi konflik yang lebih luas dan mengaitkan pandangan masyarakat setempat
dan keluarga secara utuh pada sosok Catuk ini.
Penggunaan
diksi yang kurang pas di beberapa bagian cerita menjadi kelemahan novel ini, seperti dalam kalimat berikut “Retina matanya terlihat berkaca-kaca tapi
bibirnya tetap menyunggingkan senyum.” Penulis menggunakan retina untuk
merujuk bagian mata yang bisa
berkaca-kaca karena diselimuti cairan air mata, padahal hal itu kurang
tepat, karena retina merupakan bagian dalam mata yang berfungsi membentuk bayangan benda dan meneruskannya ke syaraf
mata. Retina letaknya di bagian
dalam mata, tidaklah tampak dari luar dan tidak bisa dilukiskan bisa berkaca-kaca. Lebih tepat jika penulis menggunakan Iris, atau Kornea
yang memang bagian mata yang ada di depan dan tampak.
Terlepas dari beberapa kekurangan novel ini. Novel Jurai tetaplah menjadi salah satu bacaan yang bergizi karena di dalamnya tak hanya mengajarkan pembaca untuk belajar pada kenangan dan impian, tetapi juga menyampaikan semangat emansipasi wanita.
Hal ini bisa dilihat saat penulis memaparkan perjuangan tokoh Emak untuk menyekolahkan anak-anaknya di tengah pandangan orang-orang yang mencibirnya. Guntur Alam menuliskan pemikiran tokoh Emak dengan apik. Bagaimana ia menyampaikan pesan pada pembaca jika perempuan haruslah pandai agar tak dibohongi, termasuk oleh orang yang dicintainya.(*)
Novel dengan kisah inspiratif seperti ini memang menyenangkan untuk dibaca ya, kak. Biar jadi pemicu semangat buat diri sendiri juga
BalasHapusMembaca resensi ini semakin mengingatkan saya pada tanggapan seorang teman..
BalasHapusPerempuan bila sudah tak bersuami (meninggal/cerai) akan berusaha bangkit demi anaknya.
Tetapi laki-laki lebih sering mencari pengganti dahulu baru memikirkan anaknya..
Begitulah sosok emak yang saya tangkap di novel Jurai.
Guntur alam termasuk penulis fiksi produktif. cerpen-cerennya banyak tersebar di mana2. kalo bikin novel pastilah bagus. terlepas tetap ada kekurangan2nya. jadi pengen baca novelnya
BalasHapusBis dibayabgkan gimana hancurnya htai Emak. Di satu siai dia harus meneruakan perjuangan menghidupi dan biaya pendidikan anak-anak, di satu sisi dia harus mendapat pukulan tentang pernikahan kedua suaminya. Naudzubillahimindzaalik. Makasih uraiannya Kak.
BalasHapuswah aku baru tau ada penulis guntur alam kak richa. btw br bahasa sumsel bapak itu ebak, sounds new
BalasHapusbaru baca resensi novelnya aja udah menarik jadi pengen baca novelnya langsung..btw cerita tokoh perempyan yg bisa survive ketika ada mslh rmh tangga jadi tema menarik ya mbak
BalasHapusselalu kisah perjuangan dan bertahan hidup bisa dijadikan kisah yang menarik utk diceritakan... baruntau juga.. kalau wajah ayah dan anaknya serupa salah satunya akan cepat meninggal (hmmm...mitos sepertinya ya kak)
BalasHapusMasyaallah, sepertinya ini buku bagus banget mbaa. jadi pengen beut baca. apalagi tentang perjuangan ibu menyekolahkan anak-anaknya. inspiratif banget. jadi kepo nih, hihi. makasih ulasannya mba.
BalasHapusNovel yang keren banget nih kak, jadi pengen baca. Cerita yang tentang keteguhan hati Arrai kali ini benar-benar inpiratif banget ya kak
BalasHapusBuku baru ya, dah lama tak beli buku... Terakhir tahun lalu beli buku satu koper waktu liburan ke Jakarta dan ada cuci gudang
BalasHapusDuh jadi tersentuh saya membaca apa yg terjadi dalam keluarga dalam tokoh tersebut. Seolah-olah nyata ya mbak
BalasHapusBiasanya perempuan tuh akan selalu survive demi anak2nya, walaupun hatinya tersakiti dan dibohongi. Apik sekali cerita di novel ini.
BalasHapusGuntur Alam nama yang tidak asing ditelingga, kebetulan juga berteman di media sosial. Novelnya memang apik dan recomended untuk di baca. Mengingatkan aku juga harus punya novel ini kak.
BalasHapus