Kepingan Rindu yang Berserakan dalam Film Natalan
Judul
Film : Natalan
Sutradara : Sidharta Tata
Genre : Drama
Pemain : Mien Brodjo, Raymon Y. Tungka, Clara
Soetedja
Tahun : 2015
Produksi : Kebon Studio Film – Dinas Kebudayaan
Yogyakarta
|
Poster Film Natalan |
Salah satu obat rindu adalah
bertemu, tapi bagaimana jika pertemuan yang telah ditunggu-tunggu harus
tertunda dan akhirnya tak ada jalan lain selain memeram rindu itu lagi dan
lagi. Itulah tema besar yang coba diangkat dalam film pendek bertajuk Natalan.
Film pendek garapan Sidharta
Tata dan didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta ini berkisah tentang sosok
Ibu (Mien Brodjo), yang menanti kepulangan Resnu (Raymon Y. Tungka) bersama
istrinya, Dinda (Clara Soetedja) dari Jakarta menuju Yogyakarta di malam Natal.
Sebuah tema yang sederhana,
namun ternyata memiliki makna mendalam, sedalam kasih sayang Ibu kepada anak
yang seringkali tak pernah terucap.
Natal
dan Liburan
Natal dan liburan memang tak
bisa dipisahkan, begitu juga yang coba dibidik dalam film ini. Bagaimana muncul
scene-scene kemacetan, juga
kemunculan suara penyiar radio yang mengabarkan akan terjadi kepadatan dan
membludaknya jumlah bus yang akan parkir di area sekitaran Malioboro pada malam
Natal.
Dari beberapa scene ini
mengabarkan bahwa disadari atau tidak, Natal ternyata sudah menjadi bagian yang
penting dalam masyarakat Indonesia untuk berkumpul bersama keluarga, baik itu
untuk merayakan Misa atau untuk sekadar liburan di akhir tahun.
Kesyahduan
Adzan di Film Natalan
Penggunaan siaran radio sebagai
pemberi kabar penting dalam film ini tak hanya muncul ketika membicarakan tentang
kemacetan yang selalu hadir di Yogyakarta di malam Natal, namun juga memberi
kabar tentang sikap MUI terhadap polemik pengucapan selamat Natal.
Meski berkisah tentang Natalan,
namun Sidharta Tata juga menyisipkan lantunan adzan Maghrib dalam filmnya ini, hal
ini tentunya menjadi sesuatu yang syahdu dan membuat hati hangat bagi siapapun
yang menontonnya.
Kata
yang Tak Terucap
Resnu yang terlihat begitu
kalut sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta, menjadi semakin kalut tatkala
harus berhadapan dengan istrinya. Di sini terlihat jelas, ada hubungan yang
minim komunikasi antara Resnu dan Dinda.
Bagaimana Dinda yang akhirnya ‘memaksa’
Resnu untuk lebih dulu hadir di Solo, padahal Resnu sendiri menyadari bahwa ia
sudah sangat ingin sampai di rumah ibunya. Namun sayangnya, keinginan Resnu ini
tak tersampaikan dengan baik, sehingga membuat ia harus mengikuti keinginan
Dinda untuk bertemu keluarganya terlebih dahulu.
Padahal komunikasi antara
pasangan sangatlah penting. Harusnya Resnu bisa mengutarakan keinginan dan
harapannya pada Dinda. Dari ketiadaan komunikasi ini, justru membuat Resnu
semakin kalut karena harus mengingkari janji pada ibunya.
Kasih
Sayang Ibu itu Nyata
Kerinduan dan kasih sayang
seorang ibu bisa jadi tak diungkapkan lewat kata, namun, kasih sayang itu tetap
nyata. Seperti ibunda Resnu yang menyajikan kasih sayangnya lewat makanan yang
ia masak dengan tangannya sendiri.
Ibunda Resnu juga selalu
mendahulukan sosok Resnu dalam setiap pilihannya, seperti ketika membeli
daging, Ibunda Resnu menolak ketika ditawari kikil dengan alasan anaknya
(Resnu) tidak suka.
Tak hanya mendahulukan anak, sosok
Ibu juga pintar menyembunyikan rasa sedih dan sakitnya. Seperti di akhir
adegan, betapa Ibunda Resnu dengan tegar
mengatakan tak apa-apa jika Resnu menunda kedatangan karena ia belum menyiapkan
apa-apa.
Padahal pohon natal di sudut
ruangan menjadi saksi bisu, bagaimana semua hidangan tersaji lengkap di meja,
menunggu pengobat rindu datang ke dalam pelukan.
Film yang masuk nominasi Film
Pendek Terbaik dalam FFI 2015 ini berhasil memotret sisi lain Natalan. Bahwa
dalam Natalan, tak hanya ada kemeriahan dan kegembiraan, namun juga ada hati
yang sepi dan penuh kepingan rindu yang berserakan. (*)
Aku tergelitik perihal komunikasi itu, Mba. Emang dahsyat ya kalo ga bisa mengutarakan keinginan sendiri ke orang lain.
BalasHapusJadi pengin nonton filmnya.
Vivie Hardika pake akun kantor hahaha