Pendidikan
seringkali digaungkan memiliki peran besar dalam kemajuan bangsa. Mereka yang
memiliki kualitas pendidikan yang baik, maka akan memiliki kesempatan yang
lebih besar dalam memperbaiki taraf hidupnya.
Akan
tetapi, tak semua orang bisa menikmati akses pendidikan yang layak. Hal ini
mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia belum bisa mendapatkan haknya untuk
mengenyam pendidikan. Bahkan, berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun 2017, masih ada 2,07 persen atau sekitar 3,4 juta penduduk
Indonesia belum mengenal huruf. Berdasarkan data BPS tahun 2018, terdapat 6.680 desa yang tidak memiliki sarana
pendidikan, seperti PAUD, TK/RA, SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK,
Akademi/Perguruan Tinggi, Pondok
Pesantren, Madrasah Diniyah, Seminari/sejenisnya.
Bagi
yang memiliki dukungan (entah itu dukungan biaya maupun dukungan berupa izin
keluarga), mereka yang jauh dari akses pendidikan akan berusaha pergi ke desa
atau kota lain yang memiliki akses pendidikan lebih baik. Namun, minimnya
dukungan untuk mendapatkan akses pendidikan ini ternyata tidak hanya disebabkan
karena materi, namun juga karena kesenjangan dan ketimpangan gender di
Indonesia. Mayoritas masyarakat
Indonesia yang masih menganut budaya patriarki membuat perempuan lebih sulit
mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki, dalam hal ini termasuk sulitnya
memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan.
Pernikahan Usia Dini Perempuan
Salah
satu faktor lainnya yang menghambat perempuan mendapatkan pendidikan adalah
masih maraknya praktik pernikahan usia dini. Saya sendiri pernah melakukan
penelitian untuk Tesis saya tahun 2015 tentang pernikahan usia dini ini di Kabupaten
Grobogan. Masih banyak anak perempuan yang akhirnya tidak bisa melanjutkan
pendidikan karena harus menikah.
Sebab
dari maraknya pernikahan dini ini selain karena faktor budaya, geografi, juga
faktor ekonomi. Para orangtua menganggap jika setelah anak perempuan mereka
menikah, maka tanggung jawab ekonomi akan berpindah pada suami, sehingga akan
meringankan tanggung jawab orangtua untuk membiayai anak perempuan tersebut.
Berdasarkan
data BPS tahun 2018, ada 4,8% perempuan yang menikah di usia kurang dari 17
tahun. Atau ada satu dari sembilan anak berusia kurang dari 18 tahun menikah
muda.
Melawan Stigma Masyarakat
Stigma
yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat memang sulit untuk dihilangkan.
Betapa stigma perempuan sebagai konco
wingking (teman di belakang) membuat banyak perempuan merasa tak berhak
untuk memilih. Perempuan disitgmakan selalu berada di belakang laki-laki, dan
harus selalu siap untuk mendukung kemajuan laki-laki/suaminya dari belakang.
Perempuan
selalu ditempatkan pada posisi bahwa arah hidupnya ditentukan oleh pandangan
masyarakat. Menjadi perempuan yang tidak memiliki pendidikan tinggi kerapkali
dipandang sebagai hal yang wajar, pewajaran seperti inilah yang sebenarnya
menjadi belati yang diam-diam memupus harapan yang sebenarnya ada dalam diri
perempuan.
Perempuan
berhak untuk memiliki mimpinya sendiri. Perempuan berhak menjadi nahkoda untuk
cita-citanya sendiri. Perempuan berhak mendapatkan hak yang sama dengan yang
didapatkan oleh laki-laki.
Tujuan Pendidikan Bukan Tentang Pekerjaan
Sebagai
orang yang menempuh pendidikan hingga tingkat magister, saya pun tak lepas dari
stigma. Saat masih menjalani perkuliahan S2, tak sedikit yang bertanya “Untuk
apa sekolah tinggi-tinggi? Paling ujung-ujungnya nanti jadi ibu rumah tangga.”
Kemudian
ketika saya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, saya kembali mendapat
pandangan sinis dari arah dan pilihan hidup saya. “Kuliah sampe S2 kok cuma
jadi ibu rumah tangga?”
Begitulah,
perempuan seringkali berdiam dalam bayangan stigma. Bagi yang kuat menghadapi
stigma itu, mereka akan mencoba menunjukkan eksistensi lewat karya. Namun, tak
semuanya, karena stigma masyarakat serupa peluru yang terus menghujam.
Saat
duduk pertama kali di bangku kuliah magister, dosen saya bertanya pada semua
mahasiswa. “Kenapa kalian kuliah S2?” Saat itu, saya menjawab karena masih ada
kesempatan, tenaga, dan waktu untuk belajar lagi. Kebetulan ketika itu saya kuliah magister
karena memperoleh beasiswa, jadi kesempatan tersebut tentunya tidak saya
sia-siakan.
Sejak
awal, saya kuliah magister memang bukan bertujuan untuk karir, saya hanya ingin
belajar. Apa itu salah? Tentu saja tidak. Hal inilah yang kerap kali disalah-artikan
masyarakat.
Pendidikan
tinggi memang bisa membuka banyak kesempatan, dan kesempatan tersebut bukan
hanya tentang karir di kantor, tapi juga karir di dalam rumah.
Ibu adalah Sekolah Pertama untuk Anak
Apa
seorang ibu rumah tangga tidak berhak memiliki pendidikan tinggi? Tentu saja
berhak, bahkan wajib. Saya bahkan bangga menjadi ibu rumah tangga yang bergelar
magister.
Dengan
ilmu yang saya miliki, buku dan artikel yang banyak saya baca, mampu menjadikan
saya seorang ibu yang tak hanya mengasuh anak menggunakan hati, tapi juga
mengasuh dengan ilmu yang saya miliki.
Saya
selalu ingat ucapan dari Dian Sastrowardoyo, seorang aktris Indonesia penuh
prestasi. “Entah berkarir atau menjadi ibu rumah tangga. Seorang wanita wajib
berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan
menghasilkan anak-anak cerdas.”
Menjadi Ibu dengan Ilmu
Menjadi
ibu itu tidak ada sekolahnya, setiap hari seorang ibu dituntut untuk belajar hal-hal
baru. Lalu, bagaimana jadinya jika seorang ibu enggan belajar? Maka yang
menjadi korban adalah anak dan keluarganya.
Di
sinilah peran seorang ibu yang sadar akan pendidikan dibutuhkan. Tugas seorang
ibu yang paling krusial di rumah bukan memasak, mencuci, atau mengepel. Namun
mentransfer ilmu dan nilai-nilai kebaikan pada anak.
Bagaimana
jadinya jika seorang ibu tidak memiliki bekal ilmu? Maka ia akan mendidik anak
ala kadarnya, tanpa pedoman dan nilai-nilai yang jelas. Padahal seorang anak
adalah amanah, dan untuk menjaga amanah tersebut, adanya ilmu sangatlah
dibutuhkan.
Selain
mengajarkan nilai-nilai kebaikan, peran seorang ibu yang memiliki ilmu juga
penting untuk mendampingi tumbuh kembang anak. Ibu yang berilmu tahu bahwa ASI
eksklusif sangatlah penting, ibu yang berilmu juga tahu bahwa MPASI baru boleh
diberikan saat bayi usia 6 bulan. Oleh
sebab itu, pendidikan memiliki peran besar dalam arah hidup seorang perempuan,
entah nantinya ia akan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga.
Belajar dengan Bahagia
Pemberian
pemahaman akan pentingnya pendidikan untuk masa depan haruslah diberikan sejak
dini, baik itu pada anak laki-laki maupun anak perempuan. Hal ini sangatlah
penting karena selain menumbuhkan bakat serta minat, juga akan diketahui apa
potensi yang dimiliki anak.
Pencarian
bakat dan minat anak ini bisa dilakukan lewat pemilihan kursus yang tepat. Saat
memilih kursus, jangan kedepankan ambisi orang tua, akan tetapi sesuaikan
dengan keinginan dan minat anak.
Misalnya
saja, orang tua dan anak bisa memilih beragam kursus yang tersedia di
EduCenter. EduCenter sendiri merupakan sebuah Mall edukasi pertama di Indonesia
dengan konsep pusat pendidikan pertama dan terbesar di Indonesia. EduCenter
memiliki 20 (dua puluh) lembaga pendidikan/ tempat kursus serta 1 (satu) kelas
pre school dalam satu tempat.
Kesatuan
tempat kursus yang terletak di satu gedung beralamat Jl. Sekolah Foresta No.8,
BSD City, Tangerang ini tentunya akan memberikan kemudahan bagi para orang tua
dan anak dalam memilih jenis kursus yang akan diikuti oleh anak.
Ada
puluhan jenis kursus yang bisa dipilih, terdiri tak hanya di bidang akademis
saja seperti Matematika dan Fisika, namun juga kursus peningkatan kreatifitas
seperti Art, Music, atau Ballet.
Biarkan
anak memilih minat yang ia suka, karena dengan begitu anak akan bisa belajar
dengan lebih nyaman dan lebih bahagia. #educenterid
Aku selalu salut klo perempuan memiliki pendidikan tinggi. Bener bgt kak, bahwa perempuan akan menjadi sekolah pertama bagi anaknya. Semangaatttttt for all perempuan Indonesia hehe
BalasHapusBenar sekali mba, budaya patriarki masih mendarah daging di masyarakat. Saya juga masih berada di lingkungan seperti itu. Semoga lebih banyak lagi kesempatan yang terbuka untuk menimba ilmu khususnya bagi perempuan" Indonesia
BalasHapusWah, aku baru tahu nih ada educenter. Ntar pengen buka2. Tapi aku setuju sih klo perempuan harus berpendidikan. Terlepas mo berkarier atau jd ibu rumah tangga
BalasHapusMau punya anak atau engga bukan halaman untuk seorang ibu punya pendidikan tinggi ya mbaa. Keren dehh. Perlu dibaca nih sama yg masih malesmalesan sekolah kayak aku hihi
BalasHapusPernah gak terpikir, meskipun selintas, bahwa setelah Magister, harus punya pasangan yang setara, minimal sama-sama Magister juga? Atau hal tersebut tidak mempengaruhi sama sekali yang penting cinta?
BalasHapusAku kurang setuju sih, kalau perempuan harus memilih ibu rumah tangga atau karier. Bisa kok ibu rumah tangga juga punya karier. Maksudku, jangan dipaksa untuk memilih, nanti jadi merasa bersalah deh. Setuju, jadi ibu memang harus pinter.
BalasHapusPerempuan pintar harus juga pintar cari pasangan pintar. Bukan cuma pintar otak, tapi pintar karena punya pandangan hidup yg maju soal pendidikan untuk anak perempuan khususnya. Bukan cuma anak laki-laki yang harus sekolah tinggi. Insya Allah anak-anak Mba Icha nanti lebih pintar lagi dari ibunya yang sudah master.
BalasHapusJadi perempuan memang harus pinter karena apabila menjadi ibu maka akan jadi contoh figur buat anaknya, selain itu juga untuk proteksi diri sendiri juga.
BalasHapusSetuju banget, ibu memang sekolah pertama bagi anak.Jadi walau pernah kuliah dan jadi IRT juga gak salah, karena ibu yang cerdas tentu akan menghasilkan anak yang cerdas. Apalagi pas school at home sejak beberapa bulan ini. Ibu yang jadi guru di rumah. Kalau ibunya enggak update ilmu ya anaknya yang bingung.
BalasHapusBener banget... kalau perempuan itu bisa mengenyam pendidikan tinggi maka anak-anaknya tidak perlu cemas karena memiliki ibu yang tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya dalam hal pendidikan. Semoga ke depannya EDUCENTER bisa ada di provinsi lain ya mba.
BalasHapusPerempuan sering sekali didiskriminasi dalam hak memperoleh hak berpendidikan pdhl dia adalah sekolah pertama bagi anak2nyabya mbak richaa
BalasHapusMenurut saya sih, seorang ibu harus cerdas dan pintar. Karena pada ibu lah anak mendapat pendidikan pertamanya. Anak menjadi stabil emosi nya karena ada ibu yg stabil
BalasHapusBetul, stigma di masyarakat kita emang masih begitu, pendidikan itu identik dengan kesempatan memperoleh pekerjaan. Padahal banyak juga yang punya ijazah tapi kemampuan masih belum ada
BalasHapusAku setuju mbak soal ibu harus punya pendidikan tinggi. Gak cuma soal pendidikan, seorang ibu juga harus profesional mengelola emosi utk pertumbuhan psikologi anak juga.
BalasHapusBetul sekali kak icha, sebagai seorang wanita calon ibu memang harus smart ya.anak-anak kita pasti pertama kali belajar dengan kita, apa jadinya kalau kita nggak pintar ya kan
BalasHapus