Beberapa hari yang lalu, saya
tergelitik saat membaca salah satu tweet viral yang membahas New Normal. Tapi
pembahasannya bukan tentang protokol kesehatan, melainkan tentang pernikahan.
“Nikah tanpa resepsi jadi New Normal, Please.” Begitu kalimat tweet dari akun
twitter @nadyacaka.
Di masa pandemi sekarang ini,
pernikahan memang sebisa mungkin dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang
ketat. Seperti cukup di KUA dengan pendamping terbatas, dan ditiadakannya pesta.
Tapi harapan dari tweet tersebut, menikah tanpa resepsi bukan hanya diterapkan di
masa pandemi saja, tapi juga diterapkan seterusnya.
Menikah Tanpa Pesta |
Pernikahan
Tanpa Pesta
Saya jadi teringat tentang
pernikahan saya di tahun 2016, jauh sebelum ada Corona. Di saat banyak orangtua
lain di negeri ini ingin menggelar pesta besar untuk pernikahan anaknya,
orangtua saya keukeuh nggak mau bikin pesta.
Padahal, awalnya saya dan calon
suami (sekarang suami) sudah membayangkan akan ada pesta resepsi, kami juga
sudah mengawang tentang konsep pesta seperti apa yang ingin kami adakan.
Namun, semuanya ambyar ketika
di hari lamaran, Abah saya mengungkapkan tak ingin ada pesta. Cukup ijab qabul
saja. Doeng!! Saya dan calon suami bingung. “Duh, gimana ini?”
Saat itu, hati saya rasanya
masih belum terima jika saya menikah tanpa pesta, ada perang batin dalam diri saya. Ditambah lagi, para Om
dan Tante saya terus membujuk agar diadakan pesta. Saya galau luar biasa. Tapi
begitulah Abah, keputusan beliau tidak bisa diganggu gugat.
Kenapa
Tanpa Pesta?
Abah saya memang tidak suka dengan
keramaian pesta. Beliau juga sungkan kalau mau menerima ‘amplop sumbang manten’
dari para tamu yang datang.
Tak bisa dipungkiri, timbal
balik sumbang manten memang sudah menjadi hal yang lumrah di Jawa Tengah.
Bahkan tak sedikit orang yang punya hajat, mencatat siapa saja yang datang
sumbang manten dan berapa besaran uang yang ia berikan. Untuk apa dicatat?
Untuk dikembalikan dengan nominal yang sama atau lebih saat sumbang manten
balik.
Jadi, Abah nggak mau orang lain
yang pernah ia sumbang manten harus datang dan sumbang manten balik saat
anak-anak Abah menikah. Abah nggak mau membudayakan hal tersebut.
Apalagi Abah dan Ummi tipe
orang tua yang menimbang banyak hal sebelum melakukan sesuatu. Pesta resepsi
tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit, rasanya sayang jika uang sebanyak
itu digunakan untuk gelaran sehari saja.
Abah dan Ummi juga tipe orang
tua yang cuek dengan pendapat orang, dalam hal ini termasuk tentang nggak bikin
pesta untuk pernikahan anaknya. Selama apa yang dilakukan bukan perbuatan dosa,
ya, maju terus pantang mundur.
Hati saya yang awalnya nggak
terima, kemudian bisa benar-benar ikhlas setelah calon suami saya mengirimkan tangkapan
layar cuitan Om Prie GS di twitter: “Pesta Nikahmu Tak Perlu Mewah, Tapi
Cintamu Harus Megah.”
Nasihat dari Prie GS |
Setelah membaca kalimat
tersebut, hati saya terasa lapang dan akhirnya benar-benar bisa menerima
pernikahan kami yang akan diadakan tanpa pesta.
Pelaminan
Kecil
Meskipun nggak ada pesta, kami
tetap mendirikan pelaminan kecil di halaman parkir depan rumah, hanya berukuran
3 meter saja. Untuk make up pun, saya
nggak memesan MUA hits, sewa jasa ibunya teman sekolah yang kebetulan tukang
rias sekaligus punya persewaan pelaminan.
Saya juga nggak fitting baju pernikahan khusus, sewa yang
ada aja di tempat tukang rias. Apalagi calon suami juga baru datang di hari H,
berdoa aja bajunya cukup di badan dia, dan ternyata agak kedodoran, hehehe. Untungnya, hasil make up nya bagus, cantik, dan katanya
sih manglingi, jadi puas.
Oh ya, pelaminan ini sebenarnya
juga nggak terlalu berguna banget sih, karena gak ada acara foto dengan kedua
pasang orangtua mempelai, gak ada acara foto dengan tamu juga. Pokoknya buat
pajangan aja pelaminannya. Hahaha.
Bahkan, saya memakai baju
pengantin cuma 2 jam saja, habis itu ganti baju, hapus make up. Hareudang, euy!
Jadi, saat teman-teman saya datang, saya udah nggak pakai baju pengantin, udah duduk lesehan aja di dalam rumah. Satu-satunya
foto pernikahan yang saya unggah di media sosial aja saya ambil selfie
menggunakan kamera HP. Wkwkwwk.
Foto Selfie di Hari Pernikahan dengan HP |
Gara-gara saya mengunggah foto
ini di media sosial, melihat make up
saya yang cantik dan background yang terkesan mewah, banyak yang protes karena
mengira saya menggelar pesta, boro-boro pesta, bikin undangan aja enggak,
hehehe.
Nggak ada janur melengkung di
depan rumah, nggak ada pagar ayu dan pagar bagus yang menerima tamu. Nggak ada
kotak amplop sumbang manten, nggak ada acara adat injak telur dan lempar sirih,
nggak ada acara suap-suapan. Semuanya serba biasa aja. Teman yang saya undang
aja bingung saat datang, “Ini beneran si Icha nikahan, kok sepi?” Takutnya
Hoax, hahaha.
Oh ya, ada hal yang lucu juga,
saat acara ijab qabul menggunakan meja kecil yang udah buluk banget pliturnya
(ini meja dari jaman saya TK). Lupa dong nggak nyiapin taplak meja atau apalah
gitu buat nutup mejanya.
Ijab qabul tertunda cuma buat
nyari taplak meja, pas dicari gak ketemu juga, eh pas ketemu taplak meja,
ternyata malah kusut. Akhirnya mejanya ditaplakin pakai sorban lama punya Abah
yang nyelempit di lemari. Hahaha.
Undangan
Terbatas
Siapa saja yang diundang ke
pernikahan saya dan suami? Nggak banyak dan memang terbatas banget.
Yang pertama diundang tentu aja
keluarga besar dari garis Simbah Buyut, saya mengantar Ummi keliling naik motor
ke tempat para saudara untuk mengundang secara lisan.
Kemudian mengundang Bapak-bapak
se-RT di sekitar rumah untuk acara tahlilan. Undangannya pake kertas lembaran
yang difotokopi A4 dibagi dua, hehehe.
Selanjutnya saya juga
mengundang teman-teman saya, nggak lebih dari 20 orang, saya undang teman yang
kenal dekat dan memang masih sering berkomunikasi. Ngundangnya pakai apa? Lewat
whatsapp aja, hahaha.
Jadi, dalam pernikahan saya
memang nggak memesan undangan dengan desain cantik, bener-bener seadanya saja.
Gara-gara mengundang sedikit orang ini, teman-teman saya yang rumahnya agak
jauh banyak yang protes, hiks. Ya, mau gimana lagi, nggak bikin kartu undangan
dan nggak bikin pesta juga, kan? Mohon dimaafkan dan mohon doanya aja, ya.
Kebersamaan
Tanpa Sekat
Pernikahan tanpa pesta yang
awalnya membuat hati saya ciut, ternyata setelah dijalani tetap membawa
kebahagiaan. Ketakutan akan tetangga yang nyinyir Alhamdulillah tidak saya
alami, tetangga saya semuanya baik-baik, dan itu anugerah.
Kemudian, karena hanya
mengundang saudara dan beberapa teman saja, kebersamaan kami lebih terasa
karena tak ada sekat. Bukan hanya bersalaman selewat di pelaminan, kami leluasa
mengobrol lebih panjang, berpelukan lebih lama, dan tertawa lebih bahagia.
Selain hemat budget, kelebihan lain dari
pernikahan tanpa pesta yang diinisiasi oleh Abah saya ini membawa hikmah yang
lebih panjang, uang pesta dialihkan ke sesuatu yang lebih bermanfaat, yaitu membeli
pasir dan bata untuk membangun rumah.
Mengadakan pesta ataupun tidak,
pernikahan adalah kebahagiaan. Jikalaupun ingin mengadakan pesta, sesuaikan
dengan budget yang ada. Tak perlu
melirik pesta tetangga yang mungkin lebih megah dan indah, karena yang paling
penting bukan pestanya, melainkan bagaimana cara kita menjalani kehidupan dan
hari-hari selanjutnya bersama pasangan.
Jadi, menurut kamu, menikah
tanpa resepsi, yes or no? Kalau saya sih, yes. (*)
oh aku juga tanpa resepsi karena aku minta uangnya saja, ha,haa, buat modal awal nikah, tp dikabulkan. jd uang itu buat beli rumahhhh
BalasHapusSama, kak. Daku pun tanpa pesta pas nikahan. Dan yang mau justru Ipeh, agak kebalikan ya. Alasannya ya sama sih kaya abahnya kakak. Males rame-rame hehe. Kebayangnya waktu itu bakalan capek banget jadi udah males bawaannya.
BalasHapussetuju bnget kata oom Prie.. yg penting Megah cintanya bukan mewah pestanya..keren kak..semoga samawa ya..
BalasHapusMasyaAllah langka lho Mbak, ortu kayak Abah dan Ummi nya mbak, hikss terharu saya. Sebenarnya yg seperti inilah yg dituntunkan dalam Islam. jauh dari perilaku mubazir ya. Kadang suka mbatin liat org kok menjadikan pesta jd ajang bisnis menuntut balik modal. Yang namanya walimatu 'urusy itu pengumuman bahwa putra-putrinya sudah sah menikah, jd kl org2 liat anaknya boncengan sana-sini, jalan bareng dg laki2, itu suaminya. Gak ada prasangka yg aneh2 lg, sesederhana itu sebenarnya. to org2 malah salah kaprah. kakak ipar saya hampir habus 1/2 M bikin pesta anaknya, huhuuu
BalasHapusAbah dan Ummi Mbak Icha sama kayak ortu saya nih, nikah gak mau rame rame bikin resepsi. Jadi nikahi anak 7 gak ada yang pake resepsi.
BalasHapussetuju nih nikah mah enggak melulu mewah yak, yang penting mah halal, hehe. saya juga pas nikah di masjid aja dan resepsinya sederhana banget. enggak pakai adat yang ribet hehe. makasih mba sharingnya.
BalasHapusNgiriii abis nih kak icha, huhuhu demi apa sudah nikah 1 hari persiapannya 2 minggu sebelumnya. (Kalau di desa saya masih rewang masak-masak bikin kue dll)tapi ya sudahlah nanti kalau anak mau nikah bilangin aja yang sederhana. Toh sama aja tetep syah ya kak icha
BalasHapuspas baca judulnya langsung bilang yes!
BalasHapushaha
sedari sebelum covid pun sudah berangan-angan kalau nikah enggak pengen rame-rame
karna mikirin lelahnya dipajang itu ngeri hihihi
semoga jadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah ya mba :D
Gak di Jawa Tengah aja, Mbak. Di Sumbar pun biasanya amplop undangan dicatat nama dan besar isinya. Udah gitu, di kampung saya, ada tradisi baretong (berhitung) di mana pemuka setempat datang untuk membacakan nama-nama di amplop, besaran uangnya dan juga sumbangan kolektif dari keluarga.
BalasHapusThe first congratulations ya.. pesta pernikahan tanpa resepsi yes banget... Mending pesta sederhana tapi terkesan mewah untuk diri sendiri dan pastinya tidak melelahkan dan duit pesta bisa dijadikan modal untuk keperluan rumah tangga yang sedang dijalani
BalasHapusSalut banget mbak, justru dari ortu mbak malah yang nggak mau bermewah-mewahan ya. Kalau ortu dan mertua saya dulu maunya kudu ada pesta. Walau jungkir balik gimana juga. Tapi sudahlah, sudah berlalu. Jadi pelajaran sekarang saya jadi ortu kelak anak harus bisa sesuai kemampuan dia aja. Kalau bisa cukup undang orang terdekat dan sedekah sama anak yatim. Lebih berkesan dan berkah.
BalasHapuskalo kata ibuku nika itu tidak harus resepsi, karena yang terpenting itu kehidupan setelah nika mau bagai mana dan harus di rencanakan juga sebelum menikah. jika uang di abiskan untuk respsi nanti bakal bingung hari hari berikutnya
BalasHapusNo untuk pesta mewah glamour, tapi Yes untuk syukuran dengan keluarga besar dan sahabat terdekat. Saya melakukan itu juga di pernikahan kami. Selain keluarga, hanya teman2 dekat yang intens berkomunikasi setahun terakhir dan teman2 kantor yang akrab juga.
BalasHapusKalo aku sih yes kak. Saya tetap ada pesta, tapi tidak ada musik. Hanya makan-makan saja.
BalasHapusDan ayah saya anti banget sama kotak sumbangan. Dia gak mau ada kotak sumbangan di depan meja penerima tamu atau di depan rumah. Pokoknya dia mau mengundang orang murni hanya bersedekah.