Anak adalah generasi
penerus bangsa yang harus dijaga, bukan penjagaan yang membuatnya terkungkung
dan terbatas ruang geraknya, tetapi menjaga agar mereka bisa tumbuh dan
berkembang dengan baik sesuai dengan kodrat, kebutuhan, serta menjamin
hak-haknya terpenuhi.
Berdasarkan UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada 31 hak anak yang harus dipenuhi,
salah satunya adalah pada poin 5 yang menyebutkan anak harus mendapatkan standar
kesehatan paling tinggi.
Pemenuhan standar
kesehatan paling tinggi ini bukan hanya tentang pemberian makanan yang bergizi
dan imunisasi saja, tetapi juga menciptakan lingkungan yang sehat agar anak
bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Beberapa waktu lalu,
saya tertarik untuk mendengarkan program radio Ruang Publik KBR (Kantor Berita Radio) dengan tema
“Kawasan Tanpa Rokok Untuk Mewujudkan Kota Layak Anak” yang disiarkan pada 12
April 2019. Siaran radio ini bisa juga didengarkan melalui link yang ada pada
website KBR di https://m.kbr.id.
Mengenal
Tentang Kota Layak Anak.
Saya tertarik
mendengarkan siaran Ruang Publik KBR yang membahas mengenai kawasan tanpa rokok
dan Kota Layak Anak ini, karena sedikit banyak saya pernah mempelajarinya ketika
duduk di bangku kuliah. Bahkan, saat membuat tesis untuk keperluan program
magister saya yang konsen pada Kebijakan Publik di Universitas
Diponegoro-Semarang. Saya meneliti tentang pencapaian predikat Kabupaten/Kota
Layak Anak Pratama untuk Kabupaten Grobogan.
Logo Kabupaten/Kota Layak Anak (Sumber: kla.id) |
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Petunjuk Teknis Kabupaten/Kota Layak Anak di Desa/Kelurahan, definisi dari Kabupaten/Kota Layak Anak adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen
dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana
secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan
kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Untuk mencapai Kabupaten/Kota Layak Anak sendiri memang tidak mudah, ada banyak jenjang yang harus dilewati. Total ada 5 tahapan predikat sebelum akhirnya sebuah Kabupaten/Kota bisa disebut dengan Kabupaten/Kota Layak Anak, yaitu:
Untuk mencapai Kabupaten/Kota Layak Anak sendiri memang tidak mudah, ada banyak jenjang yang harus dilewati. Total ada 5 tahapan predikat sebelum akhirnya sebuah Kabupaten/Kota bisa disebut dengan Kabupaten/Kota Layak Anak, yaitu:
1. Pratama
2. Madya
3. Nindya
4. Utama
5. Kota Layak Anak.
Hingga saat ini, belum
ada Kabupaten/Kota di Indonesia yang mencapai predikat Kabupaten/Kota Layak
Anak. Dan baru ada 2 kota yang mencapai predikat Utama, yaitu Surabaya dan
Surakarta.
Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan 2018, baru 43%
atau Kota yang memiliki peraturan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan baru
10 dari 516 Kabupaten/Kota yang memiliki aturan terkait larangan iklan, promosi
dan sponsor rokok. Dan berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, dari 389 Kabupaten/Kota yang berkomitmen menjadi kota
layak anak, baru 103 Kabupaten/Kota yang memiliki aturan terkait KTR, dan 10 Kabupaten/
Kota yang memiliki atran larangan promosi, iklan, dan sponsor rokok.
Untuk menjadi Kabupaten/Kota
Layak Anak sendiri ada 5 Klaster dan 24
Indikator Penilaian yang harus dipenuhi, yang mana pada Klaster III tentang
Kesehatan dan Kesejahteraan, ada poin yang menyebutkan ‘Peran Pemerintah Daerah
Menetapkan Kawasan Tanpa Rokok’.
Ir. Yosi Diani Tresna,
MPM, Kasubdit Perlindungan Anak, Dit. Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan
Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas menyebutkan, “Antusiasme Kabupaten/KOta
cukup besar untuk berkomitmen menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak.”
“Berdasarkan data
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Per Februari Tahun
2019, ada 415 Kabupaten/Kota yang berpartisipasi dalam KLA. Dan ini jauh
meningkat dari tahun 2006, yang mana hanya ada 20 Kabupaten/Kota yang
berpartisipasi dalam KLA,” ungkap Ir. Yosi Diani Tresna dalam program radio
Ruang Publik KBR.
Menurut Ir. Yosi,
adanya 415 Kabupaten/Kota yang berpartisipasi di tahun 2019 ini, melebihi dari target
380 an Kabupaten/Kota. Ini tentunya menjadi sebuah kabar menggembirakan bahwa
dengan adanya KLA ini, mendorong Kabupaten/Kota membenahi daerahnya untuk
menjadi lebih baik, khususnya bagi anak-anak yang tinggal di daerah tersebut.
Kawasan
Tanpa Rokok, Dimana?
Memang sulit menemukan
Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia, bukan hanya sebuah kawasan tanpa adanya
perokok aktif, namun juga kawasan tanpa adanya iklan dan promosi rokok seperti
halnya yang ada di Kampung Penas, Jakarta Timur.
Menurut Ibu Sumiati,
salah satu pegiat Kampung Tanpa Rokok, Kampung Penas, munculnya kampung ini
karena inisiatif warga untuk menjaga kesehatan anak-anak dan para ibu.
“Seluruh warga di sana
ikut terlibat, dan semenjak ada komitmen warga, hampir 100% setuju (tentang
Kampung Tanpa Rokok),” jelas Ibu Sumiati dalam program radio KBR, 12 April 2019
lalu. Meski sudah menjadi kampung percontohan yang bebas rokok, menurut Ibu
Sumiati, kampung ini masih butuh pengawasan, baik itu dari kelurahan juga dari
pihak puskesmas agar aturan di kampung ini bisa berjalan dengan baik.
Menjadikan sebuah
wilayah menjadi ‘Kawasan Tanpa Rokok’ memang tidaklah mudah, menurut Ir. Yosi,
hal ini adanya tidak sinkronnya perda di suatu wilayah Kabupaten/Kota, dimana
beberapa perda saling tumpang tindih, antara perda terkait perdagangan dan
perda pelindungan anak. Apalagi kita sendiri tentunya masih tahu bahwa pajak
cukai dari rokok masih menjadi salah satu sumber pendapatan bagi banyak Kabupaten/Kota di Indonesia.
Problematika
Regulasi Kawasan Tanpa Rokok
Untuk mewujudkan Kota
Layak Anak sendiri memang tidaklah mudah, ada banyak problematika yang harus
diselesaikan, termasuk juga yang berkaitan dengan Kawasan Tanpa Rokok. Menurut
pengamatan saya saat melakukan penelitian terkait Kabupaten/Kota Layak Anak, ada beberapa
problematika yang harus dihadapi:
Kawasan Tanpa Rokok (Sumber: depkes.go.id) |
1.
Minimnya Program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Terkait Hak Anak
Bagi Negara dan
pemerintah sendiri, tanggung jawab perlindungan anak tertulis dalam Pasal 23
dan Pasal 24 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:
”Negara dan pemerintah
menjamin perlindungan, pemerliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara
hukum bertanggung jawab terhadap anak” (Pasal 23 ayat 1).
Dari penjabaran pasal
tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa pemerintah memegang peranan penting dan
utama dalam perlindungan anak, karena selain menjadi pengawas, Negara dan
pemerintah juga menjadi penjamin perlindungan anak dan kesejahteraan anak.
Namun, apabila dilihat
dari jumlah Perda yang ada di masing-masing wilayah terkait Kawasan Tanpa Rokok
dan Pelarangan Iklan Rokok masih minim, tentunya ini menjadi pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan.
Belum lagi adanya
dilema bahwa cukai rokok masih menjadi pemasukan yang besar bagi daerah dan
negara,
termasuk juga adanya pajak baliho dan iklan rokok di daerah-daerah yang menjadi
pendapatan tidak asli daerah.
Apabila daerah yang
sebelumnya menjadikan pendapatan dari iklan rokok dan cukai rokok ingin
menetapkan aturan pelarangan iklan rokok, maka daerah Kabupaten/Kota harus
berani #PutusinAja regulasi perihal larangan ini. Pemda harus berpikir maju dan
kreatif untuk mendapatkan sumber pendapatan lain untuk daerah, misalnya dari
sektor pariwisata.
2.
Minim Informasi untuk Masyarakat
Tak bisa dipungkiri
bahwa kondisi sosial dan lingkungan masyarakat berpengaruh besar terhadap
terwujud atau tidaknya Kabupaten/Kota Layak Anak. Banyak atau bisa dibilang
sebagian besar masyarakat Indonesia belum tahu mengenai Kabupaten/Kota Layak
Anak.
Yang memiliki informasi
ini bisa dikatakan kalangan terbatas saja, misalnya seperti pegawai kecamatan
dan kelurahan, atau para pejabat daerah dan stakeholdernya. Sedangkan untuk
masyarakat awam bisa dikatakan banyak yang tidak tahu dan tidak paham.
Padahal masyarakat
perlu dibekali adanya informasi-informasi yang mencukupi perihal Kawasan Tanpa
Rokok dan Kabupaten/Kota Layak Anak agar bisa diajak bekerja sama untuk
mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak.
Suatu ketika, pernah
ada tetangga saya yang mengunggah potret tugu bertulisakan ‘DESA LAYAK ANAK’ di
media sosialnya dengan caption mempertanyakan maksud dan guna dari tugu
bertuliskan kalimat tersebut. Tak lama, komentar-komentar bermunculan yang
menjawab dengan nada ketidaktahuan serupa.
Hal ini menjadi tanda,
bahwa informasi mengenai Kabupaten/Kota Layak Anak ini belum sampai ke masyarakat
tingkat bawah. Padahal seyogyanya, para stake holder seperti ibu-ibu PKK bisa
dimanfaatkan menyampaikan program ini ke masyarakat.
3.
Kesadaran Masyarakat Tentang Kesehatan Masih Rendah
Jumlah perokok aktif di
Indonesia sangatlah banyak, kita bisa menemui para perokok ini dimana saja. Di
terminal, mall, pinggir jalan, bahkan saya pernah menemukan seorang yang
merokok di ruang tunggu Puskemas, yang notabene nya adalah fasilitas kesehatan.
Masyarakat Indonesia
seringkali baru menyadari bahwa sesuatu itu memiliki kemudharatan yang besar
setelah terjadi hal-hal negatif padanya, misalnya setelah jatuh sakit. Apabila
seseorang yang merokok belum jatuh sakit yang diakibatkan karena rokok yang
dihisapnya, maka kemungkinannya sangat kecil untuk orang tersebut meninggalkan
rokok.
Bagi para perokok aktif,
bisa dikatakan adalah teman hidup, sampai-sampai ada ungkapan yang menyebutkan
kalau lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Ini tentunya sungguh
ironis.
Belum lagi, para
perokok aktif ini juga minim sekali yang memiliki kesadaran bahwa asap rokok
itu lebih berbahaya apabila terkena perokok pasif. Beberapa kali saya membaca
curhatan viral para ibu di media sosial yang bercerita tentang bayinya yang
harus meninggal karena terpapar asap rokok dari orang terdekatnya.
Maka dari itu,
kesadaran masyarakat akan bahaya rokok harus terus ditingkatkan, bukan hanya
dari pemerintah, namun peran keluarga juga penting, bagaimana memberikan
pengertian pada anggota keluarga tentang bahaya rokok.
4.
Perbedaan APBD Masing-Masing Daerah
Kendala lain mengenai
terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok adalah anggaran daerah. Sejak adanya otonomi
daerah, anggaran dana masing-masing daerah dikelola secara mandiri. Dan
masing-masing Kota/Kabupaten tentunya memiliki APBD yang berbeda-beda karena
terkait dengan program daerah dan prioritas pembangunan masing-masing daerah.
Ketersediaan
biaya/anggaran untuk melaksanakan kegiatan atau program tentunya sangatlah
penting. Dana atau biaya dalam pelaksanaan program perlindungan anak dikatakan
baik apabila pendanaan sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program. Begitu juga
dengan pembangunan atau pencanangan Kawasan Tanpa Rokok ini tentunya
membutuhkan dana yang harus dianggarkan.
Oleh sebab itu, apabila
para pemangku keputusan memang memiliki komitmen untuk membangun atau membuat
Kawasan Tanpa Rokok, bisa menggandeng LSM atau mencari sponsor yang peduli akan
kesehatan anak agar program Kawasan Tanpa Rokok bisa terlaksana dengan baik.
Itulah beberapa problematika
terkait regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia dan solusi yang bisa dilakukan
untuk mengatasinya. Lewat penjabaran ini, saya harap ke depannya tak hanya
pemerintah daerah yang bekerja dengan regulasinya, namun juga para stake holder
serta warga masyarakat memiliki inisiatif yang lebih baik. Regulasi tak akan
bisa berjalan tanpa adanya komitmen dari masyarakat untuk melaksanakan.
Begitu juga jika
masyarakat memiliki inisiatif dalam hal Kawasan Tanpa Rokok, pemerintah perlu
memberikan dukungan dengan adanya payung hukum serta regulasi yang jelas, maka
pemerintah harus berani #PutusinAja aturan yang memang dibutuhkan, sehingga ke
depannya Kabupaten/Kota Layak Anak bukan hanya sekadar wacana, namun bisa terealisasi
untuk semua Kota dan Kabupaten di Indonesia.
(Richa Miskiyya)
Done Follow Sosial Media KBR:
FB: Richa Miskiyya
Twitter: @richamiskiyya
IG: Richa Miskiyya
Tulisan ini
diikutsertakan dalam lomba Blog #PutusinAja Radio KBR
Posting Komentar