Sudah satu minggu ini Jaka tampak
tak bersemangat, ia merasa paginya tak lagi bercahaya karena si Dudung, burung
Kenari kesayangannya kabur dari sangkarnya dan terbang entah kemana. Pagi hari
Jaka terasa suram karena ia tak lagi mendengar kicau merdu si Dudung, emosi
Jaka pun jadi tak menentu, kadang murung, namun tak jarang marah-marah, membuat
Surti, istrinya menjadi serba salah.
Ada saja kesalahan Surti yang
membuat Jaka naik pitam, dari perihal sarapan yang keasinan, hingga perihal
sepele saat Jaka tak menemukan kacamatanya yang sebenarnya bertengger di atas
kepalanya.
Surti mencoba bersabar, mencoba
selalu tersenyum meski sebenarnya juga ingin marah pada suaminya. “Sudahlah,
Pak. Ikhlaskan kepergian Dudung. Kalau rejeki juga nanti akan ada gantinya,”
ucap Surti.
“Kau tahu apa soal Dudung? Dia
itu burung Kenari istimewa, kicaunya beda dibandingkan burung kenari lainnya,
kemarin saja ada yang menawarnya satu juta, namun tak aku jual,” sergah Jaka.
Surti hanya bisa menghela napas
menghadapi suaminya, “apalah yang beda dari si Dudung itu, suaranya juga sama
saja dengan burung lainnya, cit cit cuit saja,” rutuk Surti sambil berlalu ke
dapur.
Sudah sepuluh tahun Surti menikah
dengan Jaka, ia sudah paham betul sifat Jaka, Jaka adalah seorang yang pekerja
keras, namun Jaka juga seringkali egois dengan kehendaknya. Seperti ketika akan
membeli si Dudung dari kawannya sesama sopir angkot, Jaka sama sekali tak memberi
tahu Surti lebih dulu, uang dua ratus ribu yang bisa digunakan Surti
mengepulkan asap dapur selama tiga minggu melayang berganti dengan seekor
burung Kenari dalam sangkar, dan kini, burung Kenari itu benar-benar melayang
tak kembali.
Surti masih ingat, empat bulan
lalu Jaka membawa pulang seekor burung berbulu kuning, “Bu, lihat apa yang
kubawa!” Jaka berteriak dari arah depan rumah. Surti dan Amar, anak mereka yang
berumur delapan tahun terkejut sekaligus penasaran.
“Bu, Bapak pasti bawa makanan
enak, ayo ke depan,” ucap Amar dengan mata berbinar.
Surti dan Amar bergegas
menyongsong Jaka, harapan mereka tentang makanan enak sirna saat dilihatnya
sebuah sangkar berisi burung kenari. Surti begitu jengkel, lebih jengkel lagi
ketika ia mengetahui harga buru kenari itu.
“Kukira Bapak bawa makanan enak,
ternyata cuma bawa burung, tapi sepertinya burung ini enak kalau digoreng, Pak,”
ucap Amar dengan nada tengil.
“Enak saja, ini burung mahal,
awas ya kalau kau berani menggorengnya,” sergah Jaka yang kemudian bercuit
menirukan suara burung yang kemudian ia namai Dudung.
***
Sudah satu bulan Dudung
menghilang, sudah satu bulan pula Jaka sering uring-uringan, namun sore ini,
Jaka pulang sambil berteriak nyaring, “Bu, lihat apa yang kubawa!”
Surti dan Amar yang sedang
menonton televisi berpandangan, “Jangan-jangan Bapak sudah beli burung Kenari
lagi, Bu,” ucap Amar.
Surti mengedikkan bahu tanda ia
tak tahu, “Ayo kita lihat apa yang dibawa bapakmu.”
Kali ini Surti dan Amar termangu
di depan pintu saat mereka melihat Jaka menimang-nimang sebuah celengan ayam
jago.
“Bu, jangan-jangan Bapak …,” Amar
menggantung kalimatnya.
Seperti tahu apa yang ada di
pikiran anaknya, Surti segera memotong kalimat Amar, “Hush! Jangan sembarangan,
mana mungkin bapakmu gila hanya karena kehilangan burung Kenari,” ucap Surti.
Meski dalam hati ia pun memiliki ketakutan yang sama dengan Amar, ia takut
suaminya depresi dan akhirnya lebih memilih memelihara ayam dalam bentuk
celengan.
“Bapak baik-baik saja, kan? Mau
kubuatkan teh atau kopi? Atau mau kuambilkan makan sekalian?” Surti bergegas
mengajak suaminya masuk.
“Mau Amar pijat, Pak? Sepertinya
Bapak capek,” tanya Amar yang sudah meraih kedua bahu bapaknya.
“Heh…, kalian ini kenapa, aneh
sekali,” ujar Jaka bingung.
“Bapak yang aneh!” tukas Surti
dan Amar hampir berbarengan.
“Apanya yang aneh?” Jaka makin
bingung.
“Untuk apa bawa itu? Bapak
depresi gara-gara si Dudung hilang dan sekarang ingin pelihara ayam dalam
bentuk celengan agar tidak kabur?” Surti menunjuk celengan ayam yang ada di
tangan Jaka.
Mendengar apa yang baru diucapkan
istrinya, Jaka tergelak dan tertawa terbahak.
“Kalian kira aku sudah gila?”
tanya Jaka yang masih belum bisa menghentikan tawanya.
“Lalu?” Surti penasaran.
“Nanti aku jelaskan. Amar, kamu
punya kertas, spidol dan selotip?”
“Punya, Pak!”
“Coba bawa kesini.”
Tak berapa lama, Amar sudah
kembali dengan barang-barang yang diminta bapaknya.
Jaka menyobek kertas, menuliskan
sesuatu di atasnya, kemudian menempelkannya di badan celengan ayam.
“Untuk Jenggo.” Surti dan Amar
mengeja tulisan bapaknya.
“Jenggo siapa, Pak? Teman di
pangkalan angkot yang butuh sumbangan?” tanya Surti masih bingung, ia berpikir
celengan ayam itu untuk meminta sumbangan.
Jaka menggeleng, “Aku akan
menyimpan uang di celengan ini, jika sudah banyak akan kubelikan burung Kenari
lagi. Aku akan membeli burung Kenari terbaik dan mahal yang nantinya akan
kuberi nama Jenggo.”
Surti dan Amar mengangguk-angguk,
mulai paham dengan jalan pikiran sang kepala keluarga.
***
Jaka begitu rajin menyimpan
uangnya di dalam celengan ayam, setiap ia memiliki uang lebih, ia selalu memasukkannya
ke celengan ayam.
Awalnya Surti tak masalah dengan
kebiasaan baru suaminya, ia justru senang karena suaminya mulai belajar
menabung untuk membeli burung Kenari idamannya. Namun, akhir-akhir ini Surti
mulai kelimpungan karena harga sembako yang mulai naik, tapi uang belanja tak
juga naik.
Tak hanya uang belanja yang makin
seret, uang untuk beli sepatu baru untuk Amar yang sudah rusak pun tak kunjung ada
karena semua uang lebih harus masuk ke perut celengan ayam.
“Pak, lebih baik urungkan saja
beli burung Kenarinya. Kasihan Amar, dia butuh sepatu baru,” ujar Surti ketika
duduk berdua dengan Jaka.
“Sabarlah dulu, Bu. Sepatu Amar
masih bisa direparasi di Wak Kosim, kan?” jawab Jaka seraya mengusap-usap
celengan ayamnya.
“Sudah lima kali sepatu Amar
jebol, sudah lima kali pula sepatunya direparasi. Kasihan Amar, Pak. Lagipula Amar
sudah mulai besar, sepatunya sudah mulai tak muat,” jelas Surti.
Jaka terdiam memikirkan ucapan
Surti, tapi tekadnya sudah bulat untuk membeli burung Kenari idamannya.
“Kalau aku membelikan sepatu
untuk Amar sekarang, kapan aku bisa membeli burung Kenari? Aku janji, setelah
aku bisa membeli burung Kenari baru, aku akan membelikan sepatu baru untuk
Amar,” janji Jaka.
“Dulu saat di sekolah, kita selalu diajarkan
pelajaran berhitung, tapi apakah untuk anak sendiri juga harus berhitung untung
ruginya? Sebagai kepala keluarga kau harus bisa membuat keputusan
cerdas sesuai prioritas, Pak,” tukas Surti dengan nada sedikit tinggi.
Surti menghela nafas, mencoba
menahan emosinya. Tak ingin bertengkar, Surti pun beringsut pergi ke kamar,
meninggalkan suaminya yang masih mengelus-elus celengan ayam dengan segenap
perasaan.
***
“Bu, kapan kita ke toko sepatu?
Kakiku sakit, sepatuku sudah sempit,” rengek Amar sepulang sekolah.
Pedih rasanya hati Surti
mendengar permintaan Amar yang belum bisa ia tunaikan. “Sabar dulu ya, Mar.
Tunggu bapakmu berhasil beli burung kenari dulu,” ucap Surti seraya mengusap
lembut rambut Amar.
“Tapi kapan, Bu?” Mata Amar mulai
berkaca-kaca.
“Entahlah, semoga secepatnya, ya,”
ujar Surti membesarkan harapan Amar.
Tapi sepertinya usaha Surti untuk
menyabarkan Amar tak begitu berhasil. Tanpa berganti seragam dan makan siang,
Amar segera keluar rumah dengan wajah cemberut, dan itu menyisakan duka di hati
Surti karena ia belum bisa membuat anak semata wayangnya bahagia.
Sepeninggal Amar yang keluar
rumah dengan memendam gundah, Surti meraih dompetnya yang tersimpan di laci
meja dekat ruang tamu. Dompet yang tipis, bahkan terlalu tipis, ketika dibuka
hanya ada satu lembar uang lima puluh ribu dan beberapa lembar uang seribuan
yang membuat hatinya tersayat, pedang yang dibawa pattimura seolah menyisakan
luka di hatinya.
“Uang belanja untuk beberapa hari
ke depan, tak mungkin cukup untuk membeli sepatu Amar,” desah Surti.
Surti melirik celengan ayam jago
yang berdiri gagah di atas meja dekat tempatnya berdiri, “Isi celengan itu
pasti sudah cukup banyak, andai aku memecahkannya, aku bisa menggunakannya
untuk membeli sepatu Amar,” pikir Surti.
Surti mendekati celengan ayam
jago kesayangan suaminya, belum sempat Surti meraihnya, tiba-tiba ia mendengar suara
keributan dari luar rumahnya.
“Sur … Surti!!!” Mendengar ada
yang memanggil namanya, Surti tergopoh-gopoh segera keluar rumah.
“Ada apa, Bu Darmi?” tanya Surti panik.
“Anakmu, Sur. Anakmu….”
“Amar kenapa, Bu, kenapa?” Surti
semakin panik, rasa keibuannya merasakan bahwa sudah terjadi sesuatu yang buruk
pada Amar.
“Amar kecelakaan, tabrak lari.
Sekarang dibawa ke rumah sakit!”
“Astaghfirullah, Amar!!” Surti
berteriak histeris, tangisnya pecah.
***
Surti tersedu di samping Amar
yang masih belum siuman. Tak dihiraukannya Jaka yang baru datang dan
menggenggam bahu Surti. Jaka mencoba untuk menenangkan, meskipun ia tahu
sebenarnya sia-sia, Surti masih saja terus menangis, dan Amar masih juga belum
sadar.
Jaka memutar tubuhnya, ia hendak
keluar dari ruang rawat, ia tak kuat melihat Amar tak sadarkan diri, ia pun tak
kuat melihat kepiluan hati Surti.
Belum sempat langkah kakinya
sampai di luar ruangan, Jaka mendengar Surti memanggilnya. “Pak, Amar sudah
sadar, Amar sudah sadar!” teriak Surti penuh bahagia membuat hati Jaka menjadi
lega.
Keadaan Amar sudah mulai membaik,
ada kelegaan di hati Surti dan Jaka, namun satu masalah kembali membayangi,
darimana mereka akan dapat uang untuk membayar tagihan rumah sakit.
“Pak, relakan saja uang di
celengan ayam jago itu, kita tak punya uang untuk membayar tagihan rumah sakit,”
ucap Surti dengan nada lirih saat mereka berdua duduk bersama di lantai selasar
rumah sakit.
Jaka terdiam, di kepalanya
terdengar suara cicit burung Kenari impiannya, hatinya begitu bimbang.
“Jangan menyentuh uang dalam
celengan itu, untuk biaya rumah sakit, nanti biar aku cari pinjaman ke Pak
Trisna,” ucap Jaka menyebut nama juragan angkot tempatnya bekerja.
Surti menghela nafas, ia tak
menyangka, di saat seperti ini suaminya masih mementingkan burung Kenari
impiannya. Apa memang tak ada cinta di hati suaminya untuk keluarganya?
Pertanyaan itu terus menerus mengganggu hatinya.
Jaka menyadari kegelisahan hati
istrinya, namun ia memilih diam saja. Jaka pun berdiri dan hendak melangkah
pergi sebelum Surti meraih tangan kanannya.
“Mau kemana, Pak?”
“Aku mau ke tempat Pak Trisna, pinjam
uang untuk biaya rumah sakit,” ucap Jaka singkat.
***
Setelah lima hari dirawat, akhirnya
Amar bisa pulang dari rumah sakit. Perlahan, Surti dan Jaka memapah Amar masuk
ke dalam rumah.
Ketika melewati ruang tamu, Surti
merasa ada yang berbeda, ia pun kemudian tersadar jika celengan ayam jago yang
biasanya ada di meja sudut ruang tamu, kini tak ada di tempatnya.
“Pak, dimana celengan ayam
jagonya?” Mendengar pertanyaan ibunya membuat Amar ikut menatap penuh tanya ke
arah bapaknya.
“Sudah kupecahkan.”
“Bukannya biaya rumah sakit pinjam
dari Pak Trisna?” tanya Surti.
“Iya, celengan ayam jago itu
kupecahkan dan sudah kubelikan sesuatu,” jawab Jaka.
“Jenggo?” tanya Surti dan Amar
hampir bersamaan.
Jaka menggeleng, ia segera
berjalan ke kamarnya dan saat kembali, ia membawa sebuah kotak dan
menyerahkannya pada Amar.
“Sepatu baru, Pak?” Mata Amar
berbinar dan segera memeluk bapaknya.
Amar segera beringsut ke
kamarnya, ia lupa bahwa ia baru saja sembuh dari sakit, ia terlalu bahagia dan
tak sabar ingin segera mencoba sepatu barunya.
“Kukira kau tak akan memecahkan
celengan itu, Pak,” tukas Surti.
Jaka tersenyum, “Beberapa hari
ini aku sudah banyak belajar.”
“Belajar apa?”
“Pelajaran berhitung.” Surti
mengernyitkan dahinya mendengar jawaban suaminya.
“Iya, beberapa hari ini aku sudah
belajar pelajaran berhitung. Kau tahu tidak, uang dalam celengan ayam itu bisa
kuhitung, namun nikmat Tuhan yang diberikan padaku lewat cinta kasih keluarga
kita ternyata tak pernah bisa kuhitung. Berapapun uang yang kumiliki, entah itu
banyak atau sedikit, akan lebih berarti jika kugunakan untuk membahagiakan
orang-orang yang kucintai,” jelas Jaka seraya tersenyum, sebuah senyuman
terindah yang pernah dilihat Surti di sepanjang hidupnya. (*) - Richa Miskiyya
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang
diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Posting Komentar