Peserta Piknik sastra |
Apabila
ada yang bertanya obat patah hati
apa yang mujarab? Maka akan saya jawab, piknik! Mungkin banyak orang yang akan bingung dengan
jawaban ini, tapi itulah jawaban saya, dan saya
menjawab seperti itu bukan tanpa alasan.
Juli
2011, saya mengalami pergolakan batin yang hebat, saya terpuruk karena patah
hati. Meski begitu, saya tak ingin terus menerus menyiksa batin sendiri karena
cinta yang tak sesuai rencana.
Di tengah kegalauan, saya menghabiskan waktu dengan
berselancar di media sosial, dan kemudian menemukan pengumuman pendaftaran ‘Piknik
Sastra’ yang diprakarsai salah satu komunitas kepenulisan.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya saya mengambil
keputusan untuk mendaftar ‘Piknik
Sastra’ yang akan diadakan di Cibubur tersebut, saya memutuskan ikut acara ini selain
karena saya suka menulis, juga karena saya memang butuh piknik, pergi sejenak
untuk membersihkan pikiran dan hati saya dari segala hal yang buruk.
Pada hari keberangkatan, saya harus berdesak-desakan di gerbong kereta Semarang-Jakarta
yang
penuh sesak karena pelayanan kereta api saat itu belum sebaik sekarang, masih banyak penumpang
yang memiliki tiket tanpa tempat duduk dan harus duduk berselonjoran di
antara bangku kereta.
Jujur,
kebingungan melanda saya, karena saya tak tahu harus duduk dimana, semua tempat duduk
penuh dan sepanjang koridor gerbong banyak orang tidur, hingga kemudian ada
seorang bapak baik hati memberikan tempat duduknya pada saya.
Saya
merasa canggung, sungkan, dan tak enak hati melihat bapak tersebut memberikan
tempat duduknya pada saya, apalagi bapak tersebut kemudian memilih tidur di lantai kereta, menelusup di
antara bangku yang sempit.
Melihat
wajah saya yang canggung dan tak juga beranjak duduk, membuat bapak tersebut mendekati
bapak saya dan berkata, “Sudah mbak, duduk saja, nggak apa-apa kok saya tidur
di bawah saja. Saya ikhlas, saya percaya dengan menolong orang lain, maka
nantinya juga ada orang lain yang menolong kita. Jika kita berbuat baik, maka
nanti juga akan ada kebaikan yang berlipat menghampiri kita.”
Saya
tertegun mendengar ucapan bapak tersebut, saya tak mengenalnya, kami baru
pertama kali bertemu, tapi beliau tak sungkan-sungkan untuk membantu dan
berkorban untuk saya.
Hari
sudah beranjak pagi dan kereta
sudah hampir sampai tujuan, saya memilih turun di Stasiun Bekasi karena saya
dan peserta ‘Piknik Sastra’ lainnya sepakat untuk bertemu di Stasiun Bekasi dan
pergi bersama menuju ‘Piknik Sastra’ di Bumi Perkemahan Cibubur.
Bertemu Keluarga Baru |
Saat sampai di Bumi Perkemahan Cibubur, saya langsung
bergabung dengan peserta Piknik Sastra lainnya. Dua hari satu malam saya ikut
berbagai kegiatan yang disiapkan oleh panitia yang tentunya tak jauh dari
kegiatan sastra, seperti membuat puisi, pembelajaran sastra dari penulis
senior, hingga panggung sastra.
Tak terasa acara Piknik Sastra hampir usai, saya pun
mengabadikan kenangan dengan peserta lainnya dengan berfoto bahagia. Saat itu
saya berpikir bahwa tak seharusnya saya menangisi kepergian satu orang yang membuat
saya sakit, sedangkan Tuhan telah mempertemukan saya dengan banyak sahabat baru
yang membuat saya bahagia.
Happy Farewell |
Setelah acara Piknik Sastra, kami pun bersiap untuk
kembali ke kota asal masing-masing, termasuk saya yang menuju Stasiun
Jatinegara untuk kembali ke Semarang.
Di tengah keramaian Stasiun
Jatinegara, saya bertemu seorang ibu paruh baya bernama Bu Ros dan anaknya yang
baru datang ke Stasiun Jatinegara, mereka mengantre
tiket di belakang saya. Setelah ngobrol sejenak barulah
saya tahu jika mereka ingin pergi ke Pekalongan.
Cukup lama saya bersama Bu Ros dan anaknya mengantre, hingga kemudian kami
mendapat tiket Fajar Utama tanpa tempat duduk.
Kereta
akhirnya mulai berjalan pukul 20.00 WIB, kami
bertiga selonjoran di lantai kereta, sambil menahan
dingin dan lapar saya pun bersandar di pintu penghubung antar gerbong. Ketika
saya menutup mata, saya merasakan ada yang menepuk bahu saya.
“Makan
dulu, nak. Ibu bawa nasi bungkus dari rumah,” ucap Bu Ros.
Sungkan,
saya pun menggeleng sopan. “Nggak apa-apa, Ibu tadi bawa nasi dan lauk cukup
banyak. Ayo makan, nanti kamu masuk angin lho kalau nggak makan,” ucap Bu Ros
seperti mengetahui apa yang sedang saya rasakan, lapar dan sedikit demam.
Selain
karena tubuh saya memang benar-benar lemas dan prinsip tak baik menolak rezeki,
saya pun akhirnya meneriwa tawaran Bu Ros untuk makan nasi dengan lauk ayam
goreng. Alhamdulillah....
Di
Stasiun Cirebon, banyak penumpang yang turun, sehingga saya, Bu Ros, dan
anaknya bisa pindah duduk di kursi.
Suara deru kereta terdengar seperti musik romantis pengantar
tidur membuat mata saya perlahan terpejam dan membawa saya ke alam mimpi.
Ketika
mata saya terbuka, saya tak mendapati Bu Ros dan anaknya, ternyata kereta baru
saja melewati Stasiun Pekalongan dan pastilah Bu Ros dan anaknya sudah turun. Ada
rasa sesal di hati karena belum sempat mengucapkan salam perpisahan dan terima
kasih, saya hanya bisa berdoa semoga
Allah membalas kebaikan mereka.
Di
sisa perjalanan menuju Semarang, saya habiskan dengan merenung dan menikmati
pemandangan di luar jendela kereta yang mulai nampak terang tertimpa sinar
matahari pagi. Perjalanan piknik yang
saya lakukan ini memberikan saya banyak hikmah tentang
kehidupan.
Ternyata
kesedihan yang saya bawa saat berangkat perlahan mulai terhapus, saya mulai
menyadari jika tak ada gunanya merawat kesedihan, padahal Tuhan telah memberikan
jutaan kenikmatan yang seringkali tak kita sadari.
Saya
memang kehilangan satu orang yang saya cintai, tetapi selama perjalanan ini
Tuhan menunjukkan dan mengirimkan banyak orang yang mencintai saya, yang
membantu saya tanpa pamrih, meski kami baru saling mengenal. Bapak yang
memberikan tempat duduknya pada saya, teman-teman
peserta Piknik Sastra yang rasanya sudah seperti saudara meski baru pertama berjumpa,
juga Bu Ros dan anaknya yang memberikan makanan ketika saya kelaparan.
Sejak perjalanan tahun 2011 ini, saya memiliki mimpi bisa
melakukan perjalanan liburan ke berbagai kota di Indonesia, salah satunya saya
ingin sekali menikmati liburan di Bogor, merasakan guyuran air terjun Curug
Nangka, berjalan di rindangnya Kebun Raya Bogor, juga meleburkan diri dalam
keramahan Padjadjaran Suite Hotel.
Bagi saya, liburan atau piknik itu penting, baik itu
piknik bersama orang-orang tercinta seperti sahabat dan keluarga atau piknik
yang dilakukan seorang diri, karena makna piknik bukan sekadar bersenang-senang
semata, namun juga bagaimana kita bisa belajar dalam sebuah perjalanan, mengambil
energi positif dari semesta dan kemudian mengalirkannya ke dalam hati. (*) - Richa Miskiyya
Terima kasih sudah berkunjung :)
BalasHapusSETUJU....bahkan salah satu obat untuk patah hati
BalasHapusIya, mas. Piknik itu menenangkan hati :D. Terima kasih sudah berkunjung :)
BalasHapusCeritanya seru. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam lomba. Maaf, pengumuman ditunda tgl 20 Oktober 2015. Goodluck.
BalasHapusAsiikk.. boleh dicoba nih mbak. Kalo lagi badmood, piknik ah :D
BalasHapusIya mbak, kalau saya badmood, saya memilih untuk melakukan perjalanan ^_^
BalasHapus