Obat Patah Hati Itu Bernama Piknik

Senin, Oktober 05, 2015



Peserta Piknik sastra

Apabila ada yang bertanya obat patah hati apa yang mujarab? Maka akan saya jawab, piknik! Mungkin banyak orang yang akan bingung dengan jawaban ini, tapi itulah jawaban saya, dan saya menjawab seperti itu bukan tanpa alasan. 

Juli 2011, saya mengalami pergolakan batin yang hebat, saya terpuruk karena patah hati. Meski begitu, saya tak ingin terus menerus menyiksa batin sendiri karena cinta yang tak sesuai rencana. 

Di tengah kegalauan, saya menghabiskan waktu dengan berselancar di media sosial, dan kemudian menemukan pengumuman pendaftaran ‘Piknik Sastra’ yang diprakarsai salah satu komunitas kepenulisan.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya saya mengambil keputusan untuk mendaftar ‘Piknik Sastra’ yang akan diadakan di Cibubur tersebut, saya memutuskan ikut acara ini selain karena saya suka menulis, juga karena saya memang butuh piknik, pergi sejenak untuk membersihkan pikiran dan hati saya dari segala hal yang buruk. 

Pada hari keberangkatan, saya harus berdesak-desakan di gerbong kereta Semarang-Jakarta yang penuh sesak karena pelayanan kereta api saat itu belum sebaik sekarang, masih banyak penumpang yang memiliki tiket tanpa tempat duduk dan harus duduk berselonjoran di antara bangku kereta.

Jujur, kebingungan melanda saya, karena saya tak tahu harus duduk dimana, semua tempat duduk penuh dan sepanjang koridor gerbong banyak orang tidur, hingga kemudian ada seorang bapak baik hati memberikan tempat duduknya pada saya. 

Saya merasa canggung, sungkan, dan tak enak hati melihat bapak tersebut memberikan tempat duduknya pada saya, apalagi bapak tersebut kemudian memilih tidur di lantai kereta, menelusup di antara bangku yang sempit.

Melihat wajah saya yang canggung dan tak juga beranjak duduk, membuat bapak tersebut mendekati bapak saya dan berkata, “Sudah mbak, duduk saja, nggak apa-apa kok saya tidur di bawah saja. Saya ikhlas, saya percaya dengan menolong orang lain, maka nantinya juga ada orang lain yang menolong kita. Jika kita berbuat baik, maka nanti juga akan ada kebaikan yang berlipat menghampiri kita.”

Saya tertegun mendengar ucapan bapak tersebut, saya tak mengenalnya, kami baru pertama kali bertemu, tapi beliau tak sungkan-sungkan untuk membantu dan berkorban untuk saya. 

Hari sudah beranjak pagi dan kereta sudah hampir sampai tujuan, saya memilih turun di Stasiun Bekasi karena saya dan peserta ‘Piknik Sastra’ lainnya sepakat untuk bertemu di Stasiun Bekasi dan pergi bersama menuju ‘Piknik Sastra’ di Bumi Perkemahan Cibubur.

Bertemu Keluarga Baru


Saat sampai di Bumi Perkemahan Cibubur, saya langsung bergabung dengan peserta Piknik Sastra lainnya. Dua hari satu malam saya ikut berbagai kegiatan yang disiapkan oleh panitia yang tentunya tak jauh dari kegiatan sastra, seperti membuat puisi, pembelajaran sastra dari penulis senior, hingga panggung sastra.  

Tak terasa acara Piknik Sastra hampir usai, saya pun mengabadikan kenangan dengan peserta lainnya dengan berfoto bahagia. Saat itu saya berpikir bahwa tak seharusnya saya menangisi kepergian satu orang yang membuat saya sakit, sedangkan Tuhan telah mempertemukan saya dengan banyak sahabat baru yang membuat saya bahagia. 

Happy Farewell
  
Setelah acara Piknik Sastra, kami pun bersiap untuk kembali ke kota asal masing-masing, termasuk saya yang menuju Stasiun Jatinegara untuk kembali ke Semarang. 

Di tengah keramaian Stasiun Jatinegara, saya bertemu seorang ibu paruh baya bernama Bu Ros dan anaknya yang baru datang ke Stasiun Jatinegara, mereka mengantre tiket di belakang saya. Setelah ngobrol sejenak barulah saya tahu jika mereka ingin pergi ke Pekalongan. Cukup lama saya bersama Bu Ros dan anaknya mengantre, hingga kemudian kami mendapat tiket Fajar Utama tanpa tempat duduk. 

Kereta akhirnya mulai berjalan pukul 20.00 WIB, kami bertiga selonjoran di lantai kereta, sambil menahan dingin dan lapar saya pun bersandar di pintu penghubung antar gerbong. Ketika saya menutup mata, saya merasakan ada yang menepuk bahu saya.

“Makan dulu, nak. Ibu bawa nasi bungkus dari rumah,” ucap Bu Ros.

Sungkan, saya pun menggeleng sopan. “Nggak apa-apa, Ibu tadi bawa nasi dan lauk cukup banyak. Ayo makan, nanti kamu masuk angin lho kalau nggak makan,” ucap Bu Ros seperti mengetahui apa yang sedang saya rasakan, lapar dan sedikit demam.

Selain karena tubuh saya memang benar-benar lemas dan prinsip tak baik menolak rezeki, saya pun akhirnya meneriwa tawaran Bu Ros untuk makan nasi dengan lauk ayam goreng. Alhamdulillah....

Di Stasiun Cirebon, banyak penumpang yang turun, sehingga saya, Bu Ros, dan anaknya bisa pindah duduk di kursi. Suara deru kereta terdengar seperti musik romantis pengantar tidur membuat mata saya perlahan terpejam dan membawa saya ke alam mimpi. 

Ketika mata saya terbuka, saya tak mendapati Bu Ros dan anaknya, ternyata kereta baru saja melewati Stasiun Pekalongan dan pastilah Bu Ros dan anaknya sudah turun. Ada rasa sesal di hati karena belum sempat mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih, saya hanya bisa berdoa semoga Allah membalas kebaikan mereka.

Di sisa perjalanan menuju Semarang, saya habiskan dengan merenung dan menikmati pemandangan di luar jendela kereta yang mulai nampak terang tertimpa sinar matahari pagi. Perjalanan piknik yang saya lakukan ini memberikan saya banyak hikmah tentang kehidupan. 

Ternyata kesedihan yang saya bawa saat berangkat perlahan mulai terhapus, saya mulai menyadari jika tak ada gunanya merawat kesedihan, padahal Tuhan telah memberikan jutaan kenikmatan yang seringkali tak kita sadari.

Saya memang kehilangan satu orang yang saya cintai, tetapi selama perjalanan ini Tuhan menunjukkan dan mengirimkan banyak orang yang mencintai saya, yang membantu saya tanpa pamrih, meski kami baru saling mengenal. Bapak yang memberikan tempat duduknya pada saya, teman-teman peserta Piknik Sastra yang rasanya sudah seperti saudara meski baru pertama berjumpa, juga Bu Ros dan anaknya yang memberikan makanan ketika saya kelaparan.

Sejak perjalanan tahun 2011 ini, saya memiliki mimpi bisa melakukan perjalanan liburan ke berbagai kota di Indonesia, salah satunya saya ingin sekali menikmati liburan di Bogor, merasakan guyuran air terjun Curug Nangka, berjalan di rindangnya Kebun Raya Bogor, juga meleburkan diri dalam keramahan Padjadjaran Suite Hotel.  

Bagi saya, liburan atau piknik itu penting, baik itu piknik bersama orang-orang tercinta seperti sahabat dan keluarga atau piknik yang dilakukan seorang diri, karena makna piknik bukan sekadar bersenang-senang semata, namun juga bagaimana kita bisa belajar dalam sebuah perjalanan, mengambil energi positif dari semesta dan kemudian mengalirkannya ke dalam hati. (*) - Richa Miskiyya

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Piknik Itu Penting

http://murtiyarini.staff.ipb.ac.id/2015/09/02/lomba-blog-piknik-itu-penting/

6 komentar

  1. SETUJU....bahkan salah satu obat untuk patah hati

    BalasHapus
  2. Iya, mas. Piknik itu menenangkan hati :D. Terima kasih sudah berkunjung :)

    BalasHapus
  3. Ceritanya seru. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam lomba. Maaf, pengumuman ditunda tgl 20 Oktober 2015. Goodluck.

    BalasHapus
  4. Asiikk.. boleh dicoba nih mbak. Kalo lagi badmood, piknik ah :D

    BalasHapus
  5. Iya mbak, kalau saya badmood, saya memilih untuk melakukan perjalanan ^_^

    BalasHapus