Setiap perjalanan
selalu memiliki kisahnya sendiri, serupa sebuah kain yang memiliki corak dan
keunikannya masing-masing.
Ketika kita melakukan
sebuah perjalanan, kita tak pernah tahu apa yang akan kita alami nantinya, kita
hanya bisa meraba dan menerka tanpa tahu kisah pasti yang akan terjadi dalam
jejak langkah selanjutnya. Sebuah perjalanan bisa menjadi sebuah titik balik kehidupan,
membuat kita mengubah sudut pandang, bahkan sebuah perjalanan juga bisa memberikan
kita harta kekayaan bernama persaudaraan.
Awalnya, saya adalah
tipe orang yang tak acuh, menganggap biasa arti sebuah hasil budaya dan hal-hal
yang berbau tradisional. Dulu, bagi saya hal-hal tradisional adalah kuno dan
hanya cocok untuk orang-orang tua saja. Saat itu pun saya menganggap jika kain
tradisional tak ubahnya kain biasa, sama dengan kain buatan pabrik yang banyak
dijual di pasaran. Namun, sebuah perjalanan di tahun 2014 telah membuka mata
saya dan menyadarkan saya akan pentingnya sebuah kebudayaan.
April 2014, saya
memenangkan sebuah lomba menulis dengan hadiah jalan-jalan ke Pulau Borneo,
tepatnya di Kota Banjarbaru-Kalimantan Selatan. Sebelum berangkat, saya
membayangkan akan menjadi penggemar batu intan sepulangnya dari Kalimantan
Selatan, karena memang Banjarbaru terkenal sebagai kota penghasil intan
terbesar di Indonesia
Akan tetapi saya salah,
saya memang tertarik pada batuan intan yang dihasilkan alam Borneo, namun, saya
justru lebih terpikat dan jatuh cinta pada kain Sasirangan, kain tradisional
dari Kalimantan Selatan.
Saya berada di
Banjarbaru selama 3 hari 2 malam, dan selama di sana, saya merasa beruntung
karena selalu didampingi oleh Nanang dan Galuh (Sebutan untuk Duta Wisata Kota Banjarbaru).
Acara jalan-jalan mengelilingi kota Banjarbaru pun menjadi istimewa, karena
saya mendapat banyak pengetahuan tentang kebudayaan Kalimantan Selatan langsung
dari para ahlinya.
Selain mendapatkan
pengetahuan tentang hasil tambang intan, saya juga mendapatkan pengetahuan
tentang kebudayaan. Setiap Nanang dan Galuh ini bercerita tentang budaya yang
mereka miliki, saya selalu melihat ada binar kebanggaan di mata mereka, sebuah binar
yang perlahan membuat saya kagum sekaligus malu karena selama ini saya tak
terlalu mengenal, bahkan tak tahu tentang kebudayaan di daerah saya sendiri, Grobogan.
Salah satu kekayaan
tradisi yang Nanang dan Galuh ceritakan adalah tentang Kain Sasirangan, sebuah
kain yang menjadi identitas sekaligus kebanggaan warga Kalimantan Selatan.
Menurut cerita, Kain Sasirangan muncul lewat legenda Lambung Mangkurat dan
Putri Junjung Buih. Kala itu, Putri Junjung Buih bersemayam di dasar sungai, ia
hanya akan muncul jika permintaannya dikabulkan. Salah satu permintaannya
adalah ia ingin dibuatkan selembar kain yang dibuat dan dihias oleh 40 perawan dalam
tempo satu hari.
Mendengar kisah asal
muasal kain Sasirangan membuat saya terhipnotis, entah kenapa membuat saya membayangkan
akan secantik dan seanggun Putri Junjung Buih jika bisa mengenakan kain
Sasirangan.
Sasirangan sendiri
memiliki corak yang berbeda di setiap kainnya, meskipun ada yang hampir serupa,
namun tidak ada yang sama persis, dikarenakan pembuatannya dan pewarnaannya dikerjakan
satu per satu dengan tangan, dengan cara sirang
atau diikat jelujur, oleh karena itu kain ini dinamakan Kain Sasirangan.
Kisah saya dengan Kain
Sasirangan tak hanya berhenti di kisah legenda yang dituturkan oleh Nanang dan
Galuh saja. Namun, kisah saya bersama Kain Sasirangan berlanjut di malam puncak
HUT Kota Banjarbaru Ke-15.
Ya, hari kedua saya di
Banjarbaru, tanpa saya sangka sebelumnya, saya mendapat undangan khusus dari
Dinas Pariwisata untuk hadir di malam puncak HUT Kota Banjarbaru Ke-15. Bahkan
saya tak hanya hadir, namun saya pun didapuk untuk menjadi salah satu pengisi
acaranya, saya diminta untuk membacakan hasil karya lomba yang saya menangkan hingga
membuat saya bisa datang ke Kota Banjarbaru.
Sore sebelum acara,
asisten Kepala Dinas Pariwisata datang ke hotel tempat saya menginap untuk
mengantarkan baju yang akan saya kenakan di malam puncak acara. Saya terkejut
sekaligus bahagia ketika melihat baju yang akan saya kenakan, sebuah kebaya
putih dan kain sasirangan berwarna kuning. Ada sebuah keharuan yang meledak di
dada saya, betapa saya merasa sangat tersanjung, dengan mengenakan kain
Sasirangan, saya yang notabene-nya
adalah seseorang dari pulau seberang, merasa dirangkul dan merasa menjadi
bagian dalam keluarga besar masyarakat Banjarbaru.
Berpose dengan Kain
Sasirangan
sebelum acara HUT Kota Banjarbaru |
Mengenakan Kain Sasirangan di HUT Kota Banjarbaru |
Malam puncak HUT Kota
Banjarbaru Ke-15, saya berdiri di panggung utama berhadapan dengan para
petinggi Kota Banjarbaru dan puluhan ribu warga Kota Banjarbaru yang turut menyaksikan
gelaran pesta rakyat tersebut.
Malam itu, ketika saya
berdiri di hadapan puluhan ribu warga Kota Banjarbaru dengan mengenakan kain
Sasirangan, menjadi salah satu malam yang tak akan saya lupakan, malam dimana pertama
kalinya saya merasa begitu bangga dengan kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia.
Ada satu hal yang saya
sadari ketika kain Sasirangan itu saya kenakan bahwa tak hanya warga Banjarbaru
saja yang wajib melestarikan Sasirangan, namun juga seluruh rakyat Indonesia
termasuk saya.
Rasa debar kebanggaan
di hati saya semakin berdetak kencang ketika keesokan harinya saya melihat
pawai Kain Sasirangan di depan Balaikota Banjarbaru. Laki-laki, perempuan, tua,
muda dengan senyum penuh kebanggaan berjalan melenggang dengan mengenakan aneka
rupa modifikasi kain Sasirangan. Mereka sudah berbuat sesuatu untuk menjaga
tradisi Indonesia, lalu apa yang sudah saya lakukan untuk menjaga tradisi
Indonesia? Saya merasa tertampar dengan pertanyaan yang berulang kali
dibisikkan hati saya itu.
Muda-mudi Sasirangan |
Senyum Kebanggaan bersama Kain Sasirangan |
Kain Sasirangan tak
hanya membuat saya lebih mencintai Indonesia, tapi juga membuat saya sadar jika
tradisi Indonesia dengan segala macam keunikan dan ciri khasnya bisa menjadi
tali pemersatu antar suku bangsa, seperti halnya warga Banjarbaru yang menerima
saya dengan tangan terbuka dan menganggap saya layaknya saudara.
Perjalanan ke
Banjarbaru tahun lalu benar-benar menjadi titik balik cara pandang saya pada
budaya bangsa Indonesia, budaya yang awalnya saya pandang sebelah mata justru
telah berhasil membuat saya jatuh cinta. Saya pun tersadar jika kita seharusnya
berbangga dengan segala tradisi milik bangsa Indonesia, karena jika bukan kita,
lalu siapa lagi yang akan melestarikannya? (Richa
Miskiyya)
Luar biasa. Semoga juara lagi ya
BalasHapusbukanbocahbiasa(dot)com