Judul Buku : 4
Musim Cinta
Penulis : Mandewi Gafur Puguh Pringadi
Penerbit : Exchange
Halaman : 332
halaman
Tahun : Cetakan I, April 2015
ISBN : 978-602-72024-2-9
Resensator : Richa Miskiyya *
‘Betapa tahun-tahun berharga terbuang percuma mencari
bahagia ke mana-mana sementara sepanjang masa bahagia berada di dalam diri kita
serupa sebutir benih terlunta menanti bahagia’. Manusia
memanglah selalu pergi ke berbagai tempat, menjelajah ke semua arah mata angin,
menapakkan kaki ke gunung hingga laut untuk mencari sesuatu yang tak kasat mata
bernama kebahagiaan.
Perjalanan mencari kebahagiaan inilah yang ditapaki oleh
para tokoh dalam novel berjudul 4 Musim Cinta yang ditulis oleh Mandewi, Gafur,
Puguh, dan Pringadi. Novel ini menjadi sebuah kejutan yang menarik, selain karena ditulis oleh empat
penulis sekaligus, juga karena profesi para penulisnya adalah para abdi negara.
Novel
ini terbagi ke dalam empat sudut pandang, satu wanita dan tiga pria, yaitu
Gayatri, Arga, Gafur, dan Pring. Apabila dilihat dari nama tokohnya, tentunya dapat
ditebak bagian mana yang ditulis oleh masing-masing penulisnya. Meski ditulis
oleh empat orang yang berbeda, perpindahan chapter
dalam novel ini begitu halus, bahasa yang digunakan juga kuat dan terjaga, hal
ini membuktikan jika para penulisnya memiliki kualitas yang setara dan tidak
ada ego untuk saling mendominasi cerita.
Pada tiap bab novel ini menjadi
bagian untuk lebih mengenal para tokohnya
masing-masing, bukan hanya tentang sifatnya,
namun juga cara berpikir dan pandangan mereka tentang asmara serta kepegawaian Negara.
Alur yang maju
mundur menjadikan pembaca memiliki waktu untuk mengenali
watak dan latar belakang kehidupan
para tokoh secara lebih mendalam
serta memahami istilah-istilah asing dalam dunia kepegawaian
Perbendaharaan Negara yang
terselip dalam footnote.
Novel berlatar dunia
para abdi negara, khususnya Direktorat Jenderal
Perbendaharaan ini memaparkan
bagaimana para tokoh; Gayatri,
Arga, Pring, dan Gafur harus berjuang untuk
keluar dari labirin asmara yang menjerat mereka dengan pertaruhan persahabatan,
cinta, serta kesetiaan. Ada pilihan yang harus mereka putuskan, serta harapan
yang mereka simpan diam-diam.
Empat
tokoh yang memiliki perbedaan watak dan latar belakang hidup ini pun seolah
menjadi jawaban dari filosofi yang tersimpan dalam judul 4 Musim Cinta, yang
mana empat tokoh tersebut mewakili empat musim yang ada di dunia.
Gayatri,
wanita Bali yang bekerja di Kantor Perbendaharaan
Negara Jakarta, memiliki ambisi untuk mencapai puncak tertinggi dalam
pekerjaannya. Namun, Gayatri banyak menyimpan banyak rahasia dalam dirinya,
tentang harapan juga tentang kepedihan cinta. Watak yang tertutup dan penuh
rahasia ini seolah menjadi gambaran musim dingin yang beku.
Gafur,
pria Makassar, seorang pegawai Perbendaharaan Negara yang dimutasi ke Kendari. Gafur
memiliki kekasih di Jakarta yang begitu ia cintai, meski harus berpisah jarak,
tapi Gafur tetap menyimpan cintanya untuk gadis itu. Cintanya yang begitu besar
pada sosok kekasihnya, membuat Gafur pantas mewakili musim panas yang penuh
sinar matahari.
Arga, pria Jawa yang bekerja di Kantor Perbendaharaan Negara Jakarta. Arga memiliki
keceriaan serta senyuman lebar yang khas, ada banyak kebahagiaan yang coba ia
tampakkan pada dunia, meski sesungguhnya semua itu adalah untuk menutupi
jiwanya yang kesepian karena ia selalu gagal dalam hal cinta. Latar kehidupan
Arga ini menjadi perwakilan musim gugur yang sepi.
Pring,
pria Palembang yang bekerja di Kantor Perbendaharaan Negara Sumbawa Besar. Statusnya
sudah menikah, dan harus rela terpisah jarak dengan sang istri yang melanjutkan
pendidikan di Bandung. Rasa sepi yang berpadu dengan puisi membuat Pring secara
tanpa sadar telah menebar pesona dan menciptakan benih rindu yang terlarang. Hidup
Pring yang romantis dan penuh cinta membuatnya serupa musim semi yang wangi.
Gayatri,
Arga, Gafur, dan Pring yang memiliki latar
belakang serta permasalahan hidup masing-masing harus melalui kerumitan asmara yang mereka ciptakan.
Labirin asmara mereka berawal dari pertemuan
kepenulisan yang diselenggarakan oleh organisasi tempat mereka bekerja, dan
tanpa sadar pertemuan itu mengantar mereka dalam alur asmara yang rumit,
Gayatri dan Pring yang saling jatuh cinta, serta Arga dan Gafur yang mencintai
gadis yang sama bernama Dira.
Dira
adalah tokoh yang menjadi pendukung cerita. Ia adalah seorang barista yang
bekerja di coffee shop yang sering
menjadi tempat para tokoh utama menghabiskan penat. Tokoh
Dira dalam novel ini secara tak langsung menarik
benang merah pilihan dan harapan yang kemudian menjadi penghubung keempat tokoh
lainnya. Dira dalam novel ini menjadi cerminan seorang manusia yang bahagia
namun tak lagi percaya akan kesakralan pernikahan. “Cinta hanya perlu cinta.
Dan saling percaya. Tidak perlu pengumuman. Juga kertas yang distempel”
(halaman 155)
Membuat
sebuah pilihan memanglah tidak mudah, namun bukan
berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan, seperti
halnya pilihan untuk asmara dan cita-cita yang mencoba dihadapi oleh Gayatri,
Arga, Gafur, dan Pring.
Tak hanya sarat
akan kalimat yang kuat dan terjaga.
Mandewi, Gafur, Puguh, dan Pring berhasil
menuliskan kegelisahan para tokohnya dengan apik, membuat
pembacanya enggan menutup buku hingga
halaman terakhir dan menjadikan pembaca masuk ke dalam cerita, seolah ikut serta mencari jalan
keluar labirin asmara para tokohnya.
Musim Kehidupan
Novel
ini tak hanya berbicara tentang cinta semata, melainkan juga tentang latar
belakang pekerjaan para tokoh cerita dan penulisnya. Bisa dikatakan Mandewi,
Gafur, Puguh, dan Pring ingin mengungkapkan tentang kegelisahan para abdi Negara
di Kementerian Keuangan yang tak banyak diketahui dan dipahami masyarakat
kebanyakan.
“Orang-orang yang bekerja di Perbendaharaan adalah
ujung tombak pencairan uang republik ini yang jauh dari rumah, hidup
berpindah-pindah dengan tingkat kesejahteraan yang relatif mengkhawatirkan.
Sebagian besar penghasilan habis untuk membeli tiket mudik. Tak jarang
kutemukan, para pegawai di umur 35 belum memiliki rumah.” (halaman 22).
Dari
novel ini, pembaca juga akan menemukan sisi lain dari para pegawai
Perbendaharaan Negara, sisi mereka sebagai manusia biasa yang seringkali halus
melewati kegelisahan dan kekecewaan menghadapi musim kehidupan, khususnya dalam
hal cinta.
Membaca
novel ini akan membawa pembacanya pada kenyataan yang seringkali terlewatkan,
bahwa; “Jatuh cinta dan mencintai adalah
dua hal yang berbeda, kita bisa jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama
atau orng yang berbeda. Tapi mencintai adalah keputusan. Sekali kita sudah
memutuskan untuk mencintai, maka mencintailah selamanya.” (halaman 314).
Tak hanya pesan tentang cinta dan kesetiaan,
tapi dalam novel ini juga sarat akan pesan
bagaimana melalui kehidupan. Hidup memang banyak rintangan dan kegagalan, tapi manusia harus
berani menentukan pilihan, dan berani untuk menetapkan harapan-harapan di masa
depan, karena hidup adalah perkara mengatasi kekecewaan. (*)
*Richa Miskiyya, penikmat novel, tinggal di Grobogan, Jawa Tengah
Posting Komentar