Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia
Sayup-sayup
kudengar lagu itu dari kejauhan, dari balik tembok tetangga yang sedang
menyalakan televisi. Pikiranku melayang ke masa dua puluh tahun lalu,
ketika engkau mengajarkanku lagu ini, bu. Sebuah lagu yang akan
kunyanyikan di depan kelas taman kanak-kanak.
Dengan
kesabaran penuh setiap kata dan nada kau ajarkan, demi melihat aku
menyanyikannya di depan teman-teman dan guruku. Dan kuingat jelas, kau
tersenyum dan bertepuk tangan paling keras dari balik jendela kelas.
Ibu, kulihat ada bidadari di wajahmu ....
Me and My Mom |
Betapa
banyak tersimpan air mata dalam setiap langkahmu membesarkanku dan
mendidikku, Bu. Engkau membantu ayah membanting tulang, demi menegakkan
perekonomian keluarga kecil kita.
Subuh
baru saja usai, akan tetapi peluh sudah membasahi keningmu, Bu. Engkau
mengupas puluhan butir kelapa menggunakan besi tegak berujung lancip.
Memasukkan butiran kelapa itu kedalam karung besar dan mengangkutnya ke
atas becak menuju pasar kecil di bawah tanggul desa.
Aku
yang kala itu masih kecil, kau dudukkan di atas pangkuanmu, membuatku
senyaman mungkin di antara himpitan karung-karung kelapa yang sudah
tersusun rapi di atas becak. Perlahan tapi pasti, tukang becak mengayuh
becaknya untuk mengantarkan kita menjual kelapa-kepala ini demi
mendapatkan tambahan uang untuk makan keluarga kita.
Kau
gendong satu persatu karung di belakang punggungmu dan kau tempatkan di
antara puluhan pedagang yang lain. Kita duduk bersisian, dan kau mulai
berteriak menawarkan kelapa yang kita bawa. Pasar yang terbuka membuat
sinar matahari yang mulai terik membuatku kepanasan, dengan sigap kau
mendekap tubuhku di sampingmu dan menyelimuti kepalaku menggunakan
selendang yang tadi kau gunakan untuk menggendong karung berisi kelapa.
Kita
menunggu pembeli berjam-jam, hingga kemudian kau membangunkanku yang
tertidur di pangkuanmu, dan kulihat masih ada sisa kelapa yang belum
juga terjual meski hari telah siang. Ketika kembali ke rumah, kita tak
lagi naik becak, kau akan menggendong sisa kelapa di punggungmu dan kita
pun berjalan bersisian. Kau menggandengku dengan erat agar aku tak
terjerembab di antara lubang-lubang yang menganga di jalanan.
Jujur,
Bu. Hingga kini pun aku tak tahu berapa berat kelapa-kelapa yang
seringkali kau ikat di belakang punggungmu. Aku tak tahu bagaimana rasa
sakitnya tanganmu ketika menguliti buah kelapa, yang bisa kurasakan
adalah rasa kasar di telapak tanganmu sebagai tanda perjuanganmu yang
tak pernah ada kata pamrih.
Kau
begitu menyayangiku, Bu, meskipun kau bukan tipe ibu yang suka
memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang mewah. Apakah engkau masih
ingat boneka berambut pirang dengan mata biru cantiknya yang bisa
berkedip itu, Bu? Aku merengek dan menangis meminta boneka itu. Tapi
engkau menggeleng, dan justru menawarkan padaku boneka tanpa rambut yang
matanya tak bisa berkedip.
Aku
pun menerima boneka yang kau tawarkan itu, paling tidak aku punya
boneka baru, meskipun dari sudut mataku masih ada harapan untuk memiliki
boneka cantik bermata biru yang masih terpajang di etalase toko. Hingga
bertahun-tahun kemudian, barulah kutahu ketika itu uangmu tak cukup
untuk membeli boneka berambut pirang itu.
Ibu, kulihat ada bidadari di wajahmu ....
Malam
itu langit menyambut langkahmu dengan gerimis, kau dekap tubuh kecilku
yang panas tinggi dan mengalami kejang, dan malam itu kau putuskan
membawaku ke puskesmas desa.
Dokter
mendiagnosa tubuh rapuhku terserang tifus dan harus menginap beberapa
hari di puskesmas. Kulihat kecemasan di wajahmu, ketika melihat selang
infus tertancap di pergelangan tangan kiriku. Dengan setia kau
membujukku meminum obat-obatan pahit itu, dan dengan sabar pula kau
bersihkan cairan yang kumuntahkan karena perutku tak kuat menerima
makanan dan minuman. Tiga hari kau biarkan dirimu tertidur di tepian
ranjang puskesmas tempatku dirawat, demi melihatku tidur dengan nyenyak
dan tenang.
Ibu,
masihkah kau ingat ketika aku pulang sekolah dengan mata sembab. Kau
bingung karena takut ada anak nakal yang telah menyakitiku. Hingga aku
pun bercerita jika mata kananku ternyata tak bisa melihat dengan
sempurna.
Tes
kesehatan mata ketika pelajaran olahraga menjadi seperti sebuah
tamparan keras bagiku, ketika mata kananku ditutup, aku bisa melihat
dengan sempurna menggunakan mata kiriku. Namun, hal berbeda terjadi
ketika mata kiriku ditutup, ada kabut yang menyelimuti pandangan mata
kananku.
Esok
harinya, ayah membawaku ke dokter mata, dan ternyata mata kananku minus
tiga, padahal kala itu usiaku masih 9 tahun. Ketika ayah pergi ke
optik, ternyata harga kacamata di sana begitu mahal, hingga engkau pun
memutuskan untuk membeli kacamata di pasar dengan harga yang jauh lebih
murah.
Aku
yang kala itu masih duduk di bangku SD, tak mau menggunakan kacamata
yang dibeli di pasar itu karena memang ukuran dan bentuknya tak sebagus
yang ada di optik mahal, kawan-kawan mengejekku, mengatakan jika
kacamataku seperti nenek-nenek dan ukurannya terlalu besar seperti mata
capung. Aku menangis, dan tak mau lagi memakai kacamata itu.
Engkau
pun kebingungan menghadapiku, Bu. Kau semakin cemas dan takut jika
kesehatan mata kananku semakin menurun, dan ketakutanmu pun terbukti,
hingga minus mataku semakin meninggi hingga mencapai minus 10.
Ibu, kulihat ada bidadari di wajahmu ....
Tak
ada kata putus asa dalam hidupmu demi kebahagiaan anak-anakmu.
Menghadapi keenggananku untuk menggunakan kacamata, kau putuskan untuk
membawaku ke pengobatan alternatif. Dengan setia kau membujukku dan
menemaniku pergi ke pengobatan-pengobatan alternatif yang dipercaya
banyak orang bisa menyembuhkan minus mataku, dan pastinya tak hanya
materi yang terkuras, namun juga kau rasakan capek yang teramat sangat,
namun tak pernah kau tunjukkan itu.
Suatu
hari aku bilang capek dan lelah mendatangi pengobatan-pengobatan
alternatif namun tak ada hasilnya itu. Namun, kau terus membesarkan
hatiku, segala sesuatu itu harus ikhtiar, harus berusaha, begitu yang
kau katakan.
Dengan
semangat kau terus mencari informasi tentang pengobatan-pengobatan
alternatif itu, banyak kota yang telah kita datangi bersama, Solo,
Demak, Jepara, Kudus, Semarang, dan kota-kota kecil lainnya Dan jika
dihitung ada belasan pengobatan alternatif yang telah kita datangi, kita
naik turun bus, dan berjalan berkilo-kilo untuk mencapai tempat
pengobatan alternatif itu. Dari yang berupa pijat syaraf, pengobatan
dengan salep yang didatangkan dari Papua dan Arab, hingga
pengobatan-pengobatan alternatif dengan perantara batu bertuah. Namun,
hasilnya tetap nihil. Tapi, kau tak pernah menyerah demi kesembuhanku.
Hingga,
di usiaku yang ke-23, mata kananku sudah mencapai minus 14. Aku hanya
dapat pasrah dengan kesehatan mataku. Suatu hari aku pun menemukan
informasi adanya operasi mata yang bisa menyembuhkan mataku. Dengan ragu
aku mengutarakannya padamu, meski tak terlalu berharap engkau akan
setuju karena biayanya yang mahal.
Namun,
dugaanku keliru, dengan semangat kau menyetujui keinginanku untuk
melakukan operasi. “Tak apa, bukankah ini yang kita cari selama ini?
Pengobatan yang dapat menyembuhkan matamu. Ibu ada tabungan 3 juta,
untuk sisanya tak perlu kau pikirkan, yang penting matamu sembuh,”
ucapmu ketika itu, bu. Mata kananku pun bisa kembali melihat dengan
normal, bu, setelah 14 tahun akhirnya aku tahu bagaimana rasanya
menangkap cahaya dari mata kananku, dan lagi-lagi kulihat bidadari ada
di wajahmu, Bu.
Ibu,
aku sadar hingga usiaku 24 tahun ini, aku belum bisa jauh darimu, aku
masih membutuhkanmu segala nasihat-nasihatmu. Engkau memang tak pernah
mengucap kata ‘cinta’ padaku dan adik-adikku, tapi aku tahu, bu, cintamu
serupa bulan purnama, begitu penuh, utuh, dan sempurna. Bagaimana
cintamu telah tercipta dan terbukti dari belaianmu ketika subuh, pesanmu
untuk selalu hati-hati dan tak lupa untuk sholat dimanapun berada.
Meski pendidikanmu tak lebih dari sekolah dasar, bu, tapi engkau telah
buktikan dengan segala kerja keras dan doa, kau berhasil mengantarkan
anak-anakmu untuk kuliah, bahkan kini aku berhasil mendapatkan beasiswa
S2 berkat doa-doamu, bu.
Ibu,
aku ingin menjadi sepertimu. Wanita teristimewa yang duduk di
singgasana cinta kasih, berjubah keikhlasan, dan bermahkotakan
kesabaran. Setiap langkahmu, senyummu, dan hembusan nafasmu adalah doa
untuk anak-anakmu.
Biarkan
aku menjadi kebanggaan untukmu bu, dan ijinkan aku belajar menjadi
wanita sepertimu, serupa bidadari yang selalu kulihat dalam wajahmu,
Ibu.(*)PS : I Love Mom - Bukune, 2015 |
Pengen nangis. #Akuterharu
BalasHapus