Aku
tersentak kaget ketika kau menghempaskan tubuhmu ke atas kursi tepat
disampingku. Segera kuhentikan menyalin catatan fisikaku yang belum selesai.
Kupalingkan tatapanku ke arahmu. Hari itu wajahmu begitu kusut, kacau, dan ...
Ah, sepertinya aku tak perlu bertanya ada apa denganmu ketika kulihat di
tanganmu tergenggam sebuah kado berbungkus rapi dengan hiasan pita warna merah
jambu.
Sehari
sebelumnya, aku menemanimu membeli kado itu. “Ayo, temani aku mencari kado
untuk Lina, besok dia ulang tahun,” pintamu dengan wajah memelas sepulang
sekolah hingga akhirnya aku mengangguk, mengiyakan ajakanmu.
Kamu
terus saja menguntit di belakangku sesampainya di toko yang menjual aneka kado.
“Pilih yang paling bagus dan menurutmu dia akan suka. Aku percaya dengan
pilihanmu,” bisikmu di telingaku, membuat angin kecil di daun telingaku yang
membuat jantungku berdegup tak karuan.
Aku hanya bisa menghela nafas dan menyimpan degupan
aneh yang bercampur dengan rasa kesalku di hati. Ini adalah kesekian kalinya
aku harus menemanimu mencari hadiah untuk mendekati perempuan yang kau kagumi.
Ingin rasanya aku menolak ajakanmu, karena membantumu mendekati perempuan yang
kau suka adalah siksaan batin tersendiri buatku. Sayang, kau tak pernah sadari
kesakitanku.
Aku
mengelilingi toko yang berisi aneka macam hadiah itu. Boneka teddy bear, jam
tangan cantik, asesoris-asesoris lucu, namun belum ada yang membuatku
menjatuhkan pilihan, seolah-olah aku ingin membeli kado untuk diriku sendiri hingga
harus mencari yang terbaik, sedang kulihat dirimu sedang asyik melihat-lihat
aneka dompet untuk cowok di etalase depan.
Hingga
akhirnya langkahku terhenti di sudut ruangan, tempat aneka bingkai dan kotak
musik tertata rapi. Kuraih kotak musik berwarna merah hitam berbentuk hati,
kubuka pelan kotak musik itu, dan kuputar pengait dibawahnya. Aku tersenyum
ketika kulihat sebuah boneka balerina menari-nari berputar mengikuti irama
musik.
“Kau
suka itu?” tiba-tiba kau sudah berdiri di sampingku, ikut menikmati tarian
balerina di atas kotak musik yang kupegang. Aku mengangguk dan tersenyum.
Kau pun segera
mengambil alih kotak musik itu dari tanganku, “Pasti Lina juga akan suka kotak
musik ini,” katamu seraya beranjak menuju kasir.
Lagi-lagi seperti ada
godam yang memukul-mukul ulu hatiku, kugigit bibirku, “Aku juga ingin kotak
musik itu, Rama,” ucapku lirih, hingga sepertinya aku sendiri yang bisa
mendengar kalimat yang baru saja kuucapkan.
“Ucapan selamat ulang
tahun ini bagus, gak?” kau menunjukkan sebuah bingkai ucapan selamat ulang
tahun yang terbuat dari stik es krim. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Dua
hadiah itu pun akhirnya dibungkus oleh karyawan bagian pembungkus kado untuk
Lina, bukan aku.
“Ini untukmu saja,”
ucapmu yang menyadarkanku dari lamunan.
“Maksudmu?”
“Iya, kado ini untukmu
saja. Aku ditolak Lina.” Aku menerima kado pemberianmu itu. Meskipun kado itu
tak langsung dari hatimu, tapi aku bahagia menerimanya.
Semua pemberian darimu
kusimpan rapi di dalam kardus kecil ini, termasuk sebuah jam tangan yang kau
berikan sebagai kenang-kenangan tanda kelulusan.
“Waktu selalu
bersahabat dengan rindu, kenanglah aku di tiap doamu,” ucapmu sebelum kau pergi
ke Yogyakarta melanjutkan kuliahmu.
Hingga kini kusimpan kotak
berisi kenangan bersamamu, meski terasa pahit, tapi ini bukan kotak pandora,
karena di dalamnya ada cinta yang masih kusimpan rapi hingga kini, sendiri. (*)
Posting Komentar