Aku kembali ke sini, ke tanah kelahiranku, setelah berjibaku dengan kata dan retorika pemerintahan, aku rindu pada Ibu, dan sekaranglah aku kembali, dengan harapan dan do’a-do’a yang selalu ia tiupkan ke ubun-ubunku setiap pagi dan petang.
“Agar fikiranmu selalu di jalan Allah,” begitulah alasannya.
Di depan rumah yang kini bisa disebut rumah, aku duduk di samping Ibuku di atas kursi bambu panjang warisan ayahku. Rumah ini telah kurombak, dengan pondasi yang kokoh, lantai yang bening, dinding tak berangin, dan atap tanpa tikus.
Hanya kursi ini yang tetap di sini, tak berubah, tak diplitur ulang atau dipaku ulang, masih berderik-derik jika bergeser posisi duduk.
”Kau senang dengan pekerjaanmu?” tanya Ibuku.
Aku berpaling ke arahnya, sibuk menggulung-gulung sirih.
”Tentu saja Bu, aku senang, siapa yang tak ingin sepertiku Bu? Ibu pastilah bangga punya anak seperti Amat sekarang,” ujarku berbangga.
Ibu hanya tersenyum, sedikit getir, seperti ada yang mengganggu, tapi entah apa.
Bagaimana aku tak senang? Bagaimana pula Ibu tak bangga? Pikirku. Aku adalah salah satu anggota DPR dari Fraksi paling besar di Senayan sana. Aku pulang ke desa ini pun dengan setelan jas mahal, sepatu -import bukan cibaduyut- mengkilap.
Datang dengan mobil mewah bernomor polisi warna merah, aku duduk di jok belakang, dan sopirku di depan. Semua orang mengelu-elukan kedatanganku ke tanah kelahiranku. Bangga bukan?
Sebenarnya menjadi wakil rakyat bukanlah cita-citaku, aku yang hanya seorang Sarjana Pendidikan Islam dipaksa atau lebih tepatnya dirayu seorang kawan hingga sampailah aku ke posisi empuk sekarang ini.
Nama kawanku itu Jasman yang seringkali ia plesetkan sendiri namanya menjadi Jasa Mendapatkan Jabatan. Ia memang sosok politikus handal, ia seringkali berpindah-pindah partai, dari Partai Kuning ke Partai Biru, dari Partai Biru ke Partai Merah, dari Partai merah ke Partai Hijau, dan kembali lagi ke Partai Biru. Setiap calon yang ia sukseskan pasti melenggang ke kursi kekuasaan.
Hingga suatu ketika saat aku berkunjung ke rumahnya, aku diperlihatkan koleksi kaos baju dan jasnya yang berwarna-warni tersimpan rapi di almarinya. Persis toko pernak-pernik, ada stiker, topi, korek api, asbak, dan lainnya, tentu saja dengan warna yang berbeda.
”Mau ke mana kau setelah lulus sekarang?” tanya Jasman yang saat itu sudah menjadi staf di kantor Partai Biru.
”Aku akan kembali ke kampung, mengamalkan ilmuku di surau kampungku.”
”Hahahahahaha, kau tak berwawasan masa depan Mat,” Jasman tertawa berderai setengah mengejek.
Jasman adalah kakak tingkatku di kampus sekaligus kawan sekamarku di kost, sejak mahasiswa ia memang sudah terlibat politik di kampus, sering aku lihat ia di televisi, ia bukan sedang lomba debat atau bahasa inggris, ia sedang demo, apapun demonya pasti ia ikut, pernah suatu hari ia pulang dengan lebam di wajah dan tangannya karena main dorong dengan aparat kepolisian yang berjaga.
”Ini namanya perjuangan Mat,” ucapnya ketika itu.
Dulu Jasman selalu menjelek-jelekkan nama Partai, Pemerintah, dan para petingginya, tapi jusru sekarang ia malah duduk disini, di ruangan ber AC dengan asisten pribadi.
”Politik selalu berubah, begitu pula politik yang ada di otakku, beda dulu, beda sekarang,” ujarnya. Aku tak paham apa yang ia maksudkan, aku hanya diam karena aku memang tak paham dengan politik.
Akhirnya bersama Jasmanlah aku mulai terlibat politik praktis, kurang lebih tiga tahun aku membangun karirku di politik. Suatu hari Jasman menyodori beberapa lembar kertas.
”Apa ini?”
”Formulir anggota DPR.”
”Untuk apa?”
”Untuk kau isi?”
”Kenapa tidak kau saja yang isi?”
”Aku sudah mengisinya, sekarang giliranmu.”
Sebelum aku mengisi deretan pertanyaan nama, tempat tanggal lahir, hingga riwayat kesehatan, Jasman berkhotbah tentang enaknya menjadi anggota DPR. Seperti terhipnotis aku pun mengisi semua pertanyaan Curriculum Vitae dan surat pernyataan yang ada di hadapanku
Masa-masa kampanye berlalu, aku dan Jasman sama-sama mendapat angka tertinggi di daerah pilihan kami masing-masing. Dan jadilah kami berdua orang-orang yang memakai lencana kebesaran anggota dewan.
Bertahun-tahun aku tak pulang, jika aku pulang paling tak sampai menginap. Seperti saat aku memberikan bantuan untuk membangun surau kampungku yang reot menjadi masjid megah. Atau meninjau pembangunan jalan kampungku menuju arah kota kecamatan.
Aku dipercaya meletakkan batu pertama pembangunan, kemudian pemukulan bedug saat peresmian, namun tanpa aku bermalam di rumahku yang juga sudah aku bangun bak istana.
Berbeda dengan kedatanganku saat ini, Aku kembali kesini, ke tanah kelahiranku, setelah berjibaku dengan kata dan retorika pemerintahan, aku rindu pada Ibu, dan sekaranglah aku kembali, dengan harapan dan do’a-do’a yang selalu ia tiupkan ke ubun-ubunku setiap pagi dan petang.
”Kenapa sekarang kau kembali Mat?” pertanyaan Ibu menghapus lamunanku.
”Aku rindu.”
”Pada apa? Pada masjid yang kau bangun, pada rumah ini yang kau tata serupa istana?” Pertanyaan Ibu begitu tajam.
Aku tergugu, menikmati kerja kerasku pada kampung ini? Mungkin juga, tapi ada hal lain yang aku tak tahu apa membawaku ke kampungku. Tentu saja selain kerinduanku pada Ibu.
Pandanganku melaju ke depan, semburat sore menjadi layaknya lukisan di kampungku, lebih indah daripada lukisan mahal matahari sore yang kupajang di kantorku.
Sore mulai mengajak malam untuk bergabung dan akhirnya menggantikannya bersama purnama dan angin malam.
Aku melihat kubah masjid yang tampak dari balik rerimbunan pohon kelapa yang menjulang. Aku menunggu-nunggu sesuatu, tapi tak juga kunjung datang.
”Kau sedang menunggu sesuatu?” Pertanyaan Ibu seperti tahu apa yang berkecamuk di pikiranku.
Aku terdiam, tanda iya.
”Tak akan ada lagi, semua sudah tak ada.”
”Maksud Ibu?”
”Kau lupa dengan segala kemegahan yang kau bawa anakku?”
Aku masih merangkai semua ucapan Ibu, tapi tak juga kudapat apa yang Ibu maksudkan.
”Segala hal yang telah kau cipta, tak berarti apa-apa untuk kaum ini Nak, Ibumu ini mengijinkanmu kuliah agar kau bisa mengamalkan ilmu yang sudah kau dapatkan di kampung ini anakku.”
”Sekarang ilmu apa yang sudah kamu amalkan?” tanya Ibu.
Aku tak dapat menjawab, bingung dalam ketidaktahuan.
”Tapi aku sudah menjadi pemimpin untuk rakyat Bu....” jawabku setelah berpikir mencari kata.
”Rakyat yang mana? Rakyat siapa? Ingatlah kisah saat kau masih berlari dengan sarungmu menuju Surau dulu, ingatlah rangkaian nasihat yang kau dengarkan dengan khusyuk hingga mengantuk. Kisah tentang Nabimu, tentang Rasulmu. Menyebarkan agama dari keluarga terdekat, bukan dari orang terjauh,”
Aku mencerna kata-kata Ibu tak hanya dengan penuh gairah, tapi juga penuh resah. Aku kuliah dengan keringat Bapak yang mengolah sawah yang hanya sepetak. Dengan do’a yang tak pernah putus di setiap sholat fardhu juga sunnahnya.
”Kelak bangunlah kampungmu Nak,” itu pesan yang sering diucapkan Bapak menjelang aku kembali ke kota setelah liburan di rumah.
”Tapi Aku sudah laksanakan pesan Bapak Bu...”
”Pesan untuk membangun kampung ini? Ternyata kuliahmu tak membuatmu bisa membaca pesan dari Bapakmu sendiri anakku....” Ibu menghela nafas sejenak, seperti menghamburkan sedikit demi sedikit beban yang lama tersimpan.
”Bukan bangun jalan atau surau dengan kemegahan, tapi mulailah dengan membangun suraumu dengan alunan adzan, tegakkan jama’ah, juga membantu mengeja alif pada saudara-saudaramu di sini.”
”Sekarang yang kau tunggu tak akan pernah datang, tak ada adzan, juga jama’ah, hanya masjid berangin dan lantai dingin tanpa ada yang berani memasukinya. Tak ada yang berani menjadi imam, memberi wejangan untuk rajin sholat malam, atau memberi pelajaran mengaji dan membaca alam, ikutilah Rasulmu, sampaikanlah walau satu ayat apa yang kau tahu!”.
Kepalaku pening, angin menerpa keras menampar wajahku, pandanganku pada Ibuku perlahan memudar berganti wajah Jasman.
”Ayo Mat, isi dan tanda tangani kertas yang ada di depanmu itu, kapan lagi kau bisa jadi wakil untuk rakyatmu,” Aku seperti bangun dari mimpi panjang yang begitu menghujamku dengan banyak pertanyaan sekaligus jawaban.
Aku mengangsurkan kembali kertas-kertas yang belum aku isi itu ke depan Jasman.
”Hei, kau tak mau jadi wakil rakyat yang terhormat?”Aku menggeleng pelan tapi penuh kemantapan.
”Lalu kau mau jadi apa?” tanya Jasman gemas.
”Membantu saudara-saudaraku mengeja alif di surau kampungku,” jawabku seraya melangkah keluar dari kantornya yang dingin.
Sekarang aku benar-benar rindu, rindu pada surau, rindu pada Ibu, dan sekaranglah aku akan kembali, dengan harapan dan do’a-do’a yang selalu ia tiupkan ke ubun-ubunku setiap pagi dan petang.
(Dimuat di Annida Online 10 Juni 2011 - http://www.annida-online.com/artikel-3290-.html)
pertama baca,mikir gini: inikan yang dicerpennya nida..kirain cerpennya copy paste ternyata nih pengarang aslinya..selamat ya
BalasHapusMakasih Pilo dan I-one.....^_^
BalasHapus