-->
Aku melemparkan pandanganku ke luar jendela, hanya ada hamparan sawah yang tiada habisnya, juga lambaian kabel tiang listrik yang seakan tak berujung.
Mendapati diriku duduk di sini dalam buaian diam keramaian membuatku ingin kembali pulang ke rumah tanpa menjalani tugas yang “terpaksa” aku terima.
Ya, tugas yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, di saat teman-temanku yang lain mendapatkan tugas di sekolah-sekolah elit, atau minimal di ibu kota kabupaten. Sedangkan aku? Aku harus menjalani tugas Praktek Mengajar dari Kampusku di desa antah berantah bernama Kliwang.
Aku memang kuliah di Kampus Pendidikan di Ibu Kota Provinsi, seharusnya aku pun mendapat tugas mengajar di sekolah-sekolah di kota. Tapi seminggu yang lalu, aku dipanggil pembimbingku dan beliau memberikanku tugas mengajar di desa Kliwang.
Sekolah yang akan aku ajar nantinya bukan sekolah negeri bukan pula madrasah, begitu kata Pak Bakri, pembimbingku. Aku semakin miris membayangkan sekolah macam apa dan murid seperti apa yang akan aku temui nanti.
Di Kliwang nanti aku disuruh menemui Haji Sanusi, paman jauh dari Pak Bakri, dan di Kliwang pula aku akan mengajar anak-anak desa bersama Haji Sanusi.
Aku sempat protes kepada Pak Bakri kenapa aku ditempatkan di desa tertinggal, tapi Pak Bakri mengatakan,
”Kamu jangan pernah pilih-pilih tempat dan pada siapa kamu harus membagi ilmu!” Itulah pesan Pak Bakri yang akhirnya membuatku luluh hingga sekarang aku sudah sampai di lebih dari setengah perjalanan
* * *
Kereta yang aku naiki ini bukanlah kereta eksekutif atau kereta bisnis, tapi kereta ekonomi karena hanya kereta ekonomi seperti inilah yang berhenti di Kliwang.
Kereta yang penuh sesak dengan pedagang-pedagang yang selesai berjualan di Kota Kecamatan, sisa dagangan dalam bakul bercampur keringat penuh lelah sore hari menjadi satu.
Suara bising penumpang yang saling bertukar cerita menimbulkan situasi yang ramai, layaknya ada pasar pindah ke dalam kereta.
Aku pun hanya bisa mencari udara dan pemandangan bebas di luar kereta melalui jendela yang kacanya tinggal separuh karena pecah hingga angin mempermainkan ujung jilbabku, sangat berbahaya sekali jika tiba-tiba ada batu yang terlempar ke dalam kereta.
”Mau kemana Nak?” tiba-tiba suara disampingku mengagetkanku.
Suara seorang Ibu separuh baya yang jika aku taksir mungkin usianya sama dengan Mamaku, tapi mungkin karena kehidupan yang keras wajahnya tampak lebih tua dari aslinya.
”Mau kemana nak?” kudengar Ibu di sampingku mengulangi pertanyaannya hingga membuatku tergeragap sejenak.
”Eh...anu bu...mau ke Kliwang,” jawabku.
”Sama dengan Ibu, Ibu juga mau ke Kliwang, kamu punya saudara di Kliwang?” tanya Ibu itu lagi.
”Tidak bu, saya mau praktek ngajar di Kliwang.”
”O...jadi ini Ibu guru baru yang mau ngajar di tempat Uwak Haji Sanusi?”
Mendengar nama Haji Sanusi pun aku langsung teringat dengan nama seseorang yang harus aku temui sesampainya aku di Kliwang.
”Iya bu....” ujarku seraya tersenyum.
”Mbak...Pak...ini lho Bu Guru baru yang mau ngajar di Kliwang....” tiba-tiba Ibu yang tadi bertanya padaku berteriak dan mengabarkan ke seantero gerbong.
Bapak-bapak dan Ibu-Ibu penghuni gerbong yang tadi sibuk dengan urusannya masing-masing tiba-tiba serempak menoleh ke arahku dan berujar macam-macam. Suara-mereka pun bersahutan.
Ada yang mengucapkan selamat datang, ada yang berkomentar dan memuji wajahku hingga membuatku tersipu, tapi intinya itu adalah sambutan yang tak terduga.
Tak kuduga jika kedatanganku seperti kedatangan artis Ibu Kota hingga semua orang tahu.
Beberapa saat pun berlalu, kereta yang aku tumpangi pun melambat dan merayap masuk ke tempat yang disebut masyarakat Kliwang sebagai stasiun, meskipun bangunannya lebih serupa seperti halte bus di kota.
* * *
Orang-orang yang tadi ada dalam gerbong sudah menghilang entah ke mana, mungkin sudah kembali ke rumah masing-masing karena matahari sudah tinggi dan waktunya pulang untuk berkumpul makan siang bersama keluarga.
Hampir tiga puluh menit aku duduk di bangku reyot dekat stasiun. Stasiun sudah mulai sepi namun orang yang katanya akan menjemputku tak kunjung datang.
Tak jauh dariku terlihat beberapa anak usia setara adikku yang masih duduk di kelas 5 berlarian dan berebutan masuk ke dalam kereta yang berhenti dengan membawa sapu lidi.
Mereka tertawa dan bernyanyi entah lagu apa, menyapu sampah-sampah yang ada dalam gerbong dan kemudian keluar membawa sampah dan membuangnya di tempat sampah besar stasiun.
”Assalamualaikum...Bu Rosa....?” aku menoleh mendengar namaku di panggil.
”Waalaikumsalam...iya...”
”Saya Opik, saya disuruh Uwak Haji untuk menjemput Bu Rosa....”
”O...begitu....” aku baru paham jika anak usia SD bernama Opik itu adalah utusan dari Haji Sanusi.
”Teman-teman... ini Bu Rosa!!” Opik memanggil anak-anak pembersih gerbong sambil menunjuk ke arahku.
Anak-anak yang tadi dipanggil pun berlari mendekat dan berebutan mencium tanganku.
Opik mengenalkan teman-temannya. Jopi, Ratno, Asih, Utik, dan Mamat. Lima anak-anak itupun tanpa diminta sudah mengangkat koper dan tas jinjing yang aku bawa.
Sepanjang jalan, sayup-sayup kudengar mereka bercerita tentang upah yang didapat hari ini.
”Tadi aku dapat tiga ratus” ujar anak berambut keriting bernama Ratno.
”Tadi aku dapat seribu....nih...” kata Asih sambil memamerkan satu logam uang seribu keluaran terbaru dari Bank Indonesia.
”Wah...itu uang baru ya?” tanya empat temannya seraya berebut untuk melihat logam berkilau yang tampak baru itu.
Senyumku mengembang melihat tingkah polah anak-anak itu.
”Bu Rosa baru pertama kali kesini ya?” tanya Opik yang tampak paling tua diantara anak-anak yang berjalan bersamaku.
”Iya...Ibu baru pertama ke sini....” jawabku.
”Kalau di kota pasti enak ya bu, banyak mobil bagus, bisa jalan-jalan ke museum, bisa lihat gedung-gedung yang tinggi” tutur Ratno.
”Mmm...gimana ya? Di kota itu panas, banyak asap.” ujarku.
”Tapi di sana kan banyak gedung tinggi, kantor-kantor bagus, museum-museum....” kata Ratno lagi yang sepertinya sangat ingin sekali pergi ke museum.
”Di museum itu banyak benda-benda bersejarah ya bu?” tanyanya lagi ingin tahu.
Museum? Seingatku aku ke museum itu baru sekali seumur hidup dan itupun ketika aku masih SD.
”Tentu saja, yang namanya museum itu memang tempat untuk melestarikan benda-benda bersejarah” itulah jawabanku meskipun aku baru sekali ke museum. Tapi karena aku kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar sebisa mungkin harus bisa menjelaskan apa yang anak-anak tanyakan dan ingin diketahui.
”Sekolah di kota bagus-bagus ya bu?” tanya Jopi.
”Ya... seperti sekolah-sekolah pada umumnya, ada guru, ada murid, ada meja kursi, guru-guru,” jawabku.
”Wah...bagus ya pasti, beda ya teman-teman dengan sekolah kita,” kata Mamat yang bertubuh gempal pada teman-temannya.
Beda? Aku pun mulai menduga-duga seperti apa sih sekolah mereka....
Tak berapa lama sampailah kami di rumah Haji Sanusi atau yang lebih akrab dipanggil Uwak Haji, rumah Uwak Haji tak begitu jauh, hanya berjarak 150 meter dari stasiun.
”Assalamualaikum....” teriak anak-anak serentak.
”Waalaikumsalam....” jawab seorang wanita yang keluar dengan daster batik dan berjilbab menyambut kami.
”Bu Haji, ini Bu Rosa....” ujar Opik yang kemudian mencium tangan Bu Haji diikuti teman-temannya.
”Saya Rosa, Bu....” ucapku memperkenalkan diri seraya mencium tangan beliau.
”Wah...pasti capek ya...ayo masuk dulu....anak-anak ayo masuk, buatkan minuman untuk Bu Rosa, kalian sudah makan belum? Ayo kita makan bersama!” ajak Bu Haji.
Lima anak itu pun berhambur masuk dan mulai menata tikar dan menata makanan di atas rumah berlantai semen. Tak berapa lama Uthik dan Asih juga keluar membawa beberapa gelas dan seteko minuman.
”Pak...ini Bu Rosa....” ujar Bu Haji, begitu pak Haji datang dengan mengucap salam pada kami.
”Selamat datang Nak Rosa...beberapa hari yang lalu saya mendengar kabar dari Bakri kalau Nak Rosa akan datang hari ini.”
”Ceritanya nanti saja pak....Nak Rosa biar makan dan istirahat dulu... ayo kita makan bersama-sama!” ajak Bu Haji seraya mengajak juga lima anak yang mengantarku tadi untuk ikut makan bersama juga.
Tak ada yang istimewa, kami hanya duduk di atas tikar karena memang tidak ada kursi di ruang tamu, yang kami makan pun hanya sayur bayam dengan urap sambal kangkung dan tahu tempe.
Tapi wajah anak-anak yang terlihat lahap dan gembira membuatku ikut merasakan nikmatnya makan bersama keluarga yang jarang aku alami bersama keluargaku.
Uwak dan Bu Haji tak memiliki anak, akhirnya setiap anak yang masuk ke dalam rumahnya pasti dianggap seperti anak sendiri termasuk juga aku.
* * *
Mataku memanas melihat apa yang ada di hadapanku kini, ini yang disebut mereka sekolah?
Jajaran gerbong dengan dua pintu di kanan kirinya untuk pintu, jendela, sekaligus ventilasi udara dan cahaya, sebuah papan tulis yang terbuat dari triplek yang dicat hitam dengan serakan debu dan batangan kapur tulis di bawahnya terletak di ujung gerbong sedangkan anak-anak duduk di sisi lain gerbong menghadap ke papan tulis.
Tak ada meja atau kursi, yang ada hanya tikar lusuh untuk alas duduk. Ada dua gerbong di sini, satu untuk belajar pelajaran umum, satu untuk belajar mengaji sekaligus musholla untuk sholat. Biasanya Uwak Haji mengajar dua kali sehari, pagi untuk umum, siang anak-anak bekerja di stasiun, lalu sore untuk belajar mengaji.
Tapi karena sekarang ada aku di sini, Uwak Haji bisa beristirahat ketika pagi, apalagi Uwak memang usianya sudah cukup renta untuk berbagi waktu antara mengajar dan bekerja di ladang.
Uwak Haji memberikan salam di depan ”kelas” yang terbuat dari beberapa gerbong kereta usang di dekat Stasiun.
Murid-murid menjawab salam dengan semangat sambil melirik ke arahku.
”Ini adalah Bu Guru baru, namanya Bu Rosa!” tutur Uwak Haji memperkenalkanku pada anak-anak. Mereka semua menyunggingkan senyuman.
”Silahkan bu dilanjutkan, saya mau ke kelas sebelah, anak-anak belajar yang rajin ya!” kata Uwak Haji.
Kelas yang dituju Uwak Haji adalah gerbong yang khusus untuk mengaji, ada dua gerbong di sini, satu untuk belajar pelajaran umum, satu untuk belajar. Karena kelas telah diberikan padaku, aku pun mulai pelajaran dengan terlebih dulu memperkenalkan diri dan berkenalan dengan mereka.
* * *
Tak terasa sudah hampir dua bulan aku di sini, di kampung ini memang tak ada sekolah pada umumnya, karena sekolah umum memang adanya di Kota Kecamatan yang untuk menuju ke sana harus naik kereta selama hampir satu jam.
Sekolah gerbong ini sudah ada sejak lima belas tahun lalu, meskipun sekolah umum sekarang sudah gratis, tapi masyarakat Kliwang masih cinta dengan sekolah Uwak Haji ini.
"Sekolah sekarang memang gratis bu, tapi masih harus beli buku, sepatu, seragam, kami tak sanggup untuk itu, apalagi dengan penghasilan masyarakat daerah ini yang hanya bertani kedelai dan jagung," begitulah yang kudengar dari Ibu Opik yang ternyata Ibu yang juga duduk di sampingku ketika di kereta tempo hari.
Akhirnya masyarakat Kliwang memilih untuk menaruh anak-anaknya di sini sekaligus bisa belajar agama dan bisa membantu orang tua mereka untuk bekerja di gerbong kereta.
Dulu pernah ada janji dari pemerintah daerah untuk membangun sekolah gratis yang tak memungut biaya untuk uang gedung dan buku, tapi tak pernah terealisasikan hingga kini.
Padahal jika kulihat anak-anak disini sangat bersemangat sekali belajar, apalagi ketika mereka tahu aku membawa banyak majalah dan buku cerita dari rumah.
Mereka akan membawanya pulang ke rumah, dan keesokan harinya mereka sudah fasih bercerita isi dari majalah dan buku cerita yang mereka baca.
Di sini banyak mutiara-mutiara yang terpendam, seperti Uthik yang ternyata bersuara indah ketika menyanyi dan membaca ayat-ayat Al-Quran. Juga ada Jopi yang mempunyai jiwa sastra. Pernah suatu ketika aku mencoba mengirimkan puisi Jopi ke suatu majalah, dan ternyata ketika aku membeli majalah itu di Kota Kecamatan edisi selanjutnya, betapa senangnya aku ternyata nama Ahmad Mudhofi atau Jopi ada disana. Aku pun membeli dua sekaligus.
Akhirnya Puisi itu pun di gunting dan dipajang di dinding gerbong, dan yang satunya di tempel Jopi di dinding kamarnya.
Selama pelajaran hari itu tak henti-hentinya Jopi memandangi hasil karyanya.
”Udah Jop, jangan diliatin terus, nanti hilang lho tulisannya!” celetuk Usup yang terkenal paling ganteng di antara teman-temannya karena kulitnya yang putih dan matanya yang sedikit sipit.
”Wah, Jopi sekarang sudah jadi artis,” begitulah ucapan lucu teman-temannya pada Jopi, dan Jopi pun selalu tersenyum bangga disebut seperti itu.
* * *
Malam hari ini terasa lebih dingin dari biasanya, aku duduk di teras rumah Uwak Haji menikmati udara malam Kliwang. Uwak dan Bu Haji sudah terlelap selepas Isya tadi, mungkin karena kecapean setelah ada acara kenduri di desa sebelah sore tadi.
”Assalamualaikum Bu...” ternyata suara Jopi.
”Waalaikumsalam...ada apa Jopi? Kok malam-malam ke sini?”
”Ini ada pisang goreng dari emak....” ujarnya sambil menyerahkan bungkusan berisi pisang goreng.
”Wah...terimakasih, sini temani Ibu makan pisang goreng bersama, Uwak dan Bu Haji sudah tidur” Jopi pun mengangguk dan duduk di sampingku.
”Bu...”
”Iya...ada apa Jopi?”
”Ibu akan tetap disini ngajar kita kan?”
Pertanyaan Jopi menyentakku, padahal satu minggu lagi aku harus kembali ke kota karena tugas mengajarku di sini selama dua bulan sudah hampir selesai.
”Kasihan teman-teman di sini kalau Ibu pergi....dulu pernah ada juga Ibu guru datang ke sini, tapi baru satu minggu ia sudah tak betah dan kembali ke kota.”
”Jarang yang mau ngajarin teman-teman di desa seperti ini Bu....” Ucapan Jopi membuatku tersentak untuk kedua kalinya.
Dulu, awal dari keinginanku untuk menjadi guru memang karena aku ingin bekerja menjadi pegawai negeri seperti kakak, om, dan tanteku. Menjadi pegawai negeri di kota dengan gaji tinggi bahkan yang kini ditambah dengan jatah sertifikasi hingga akhirnya bisa untuk membeli rumah dan mobil, bukan keinginanku untuk menjadi seorang guru di desa seperti ini.
”Sekolah bukan hak untuk anak kota saja kan Bu?”
Lama aku dan Jopi terdiam dalam pikiran masing-masing, hingga akhirnya Jopi pamit untuk pulang.
* * *
Hari ini adalah hari terakhir aku mengajar, dan aku berniat untuk berpamitan kepada murid-muridku. Wajah mereka semua sendu tanpa seulas senyuman, namun apa daya, aku sudah harus kembali saat ini.
Aku melihat satu per satu wajah murid-muridku yang sedang tekun menulis di buku beralas tikar. Sesekali aku melempar pandang ke luar, angin pagi diiringi lengkingan kereta api yang lewat, semua ini akan kurindukan. Hatiku berbisik bahwa aku akan kembali ke sini tak lama lagi, dengan membawa beberapa teman lainnya yang juga bisa membantu mengajar di sini.
Sudahlah, biarkan ini jadi janji hatiku dulu, agar menjadi kejutan bagi anak-anak gerbong ini.***
Dimuat di Annida-online.com
http://www.annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=2575&page=3
pengaluran yang sangat linear, dari belakang ke depan. seting desa Kliwang tak hidup. idenya, seperti sudah beberapa kita dengar tentang cerita seperti itu... menurutku saja. ayoh Icha penulis cerpen tergokil ini mesti punya kelak menyihir dengan cerpen terbarunya....
BalasHapushehehe, ini cerpen rak niat mas critane....tak buak makane....
BalasHapuswarahi a......
*kedip-kedip.com
maaf juragan salam kenal dan jumpa
BalasHapus