-->
Oleh Richa Miskiyya
Pasca kalah dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar, Surya Paloh mendeklarasikan Nasional Demokrat (Nasdem) sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) dengan “restorasi” sebagai isu utama yang diusung. Tokoh senior, baik dari kalangan partai politik, akademisi dan intelektual muda menyatakan dukungannya atas kehadiran Nasdem yang resmi berdiri pada 1 Februari 2010 lalu.
Sekilas, membangun kelompok civil society dengan retorika politik “restorasi” membuat kita menemukan harapan baru atas kehidupan berbangsa dan bernegara pasca era reformasi yang berjalan 12 tahun tak menemukan arah dan tujuan yang jelas. Namun, bila melihat konteks berdirinya pasca kekalahan Surya Paloh, timbul pertanyaan, apakah Nasdem didirikan hanya sebagai wadah aspirasi politik Surya Paloh –dan beberapa tokoh terkemuka seperti Syafi’i Ma’arif, Sri Sultan HB X dan lainnya? Apakah juga akan bermetamorfosa menjadi partai politik menjelang Pemilu 2014 kelak?
Mutya Hafidz -mantan reporter Metro TV yang menjadi salah satu deklarator- dalam sebuah wawancara memang menyatakan secara eksplisit Nasdem akan berubah menjadi partai. Sebagai hak politik golongan, hal itu memang tidak menjadi masalah, apalagi pengaruh dan prestasi Surya Paloh masih bersinar hingga sekarang. Tetapi, wacana yang secara tidak langsung “tidak dibenarkan” oleh Surya Paloh sendiri itu, kontan membuat partai lain merasa was-was dan khawatir. Golkar sebagai partai tempat penaungan karir politik Surya Paloh selama ini, yang akan paling merasakan dampak “penggebosan” kader kalau Nasdem menjadi partai, meskipun partai lain akan merasakan hal yang sama.
Restorasi
Di era krisis multidimensi bangsa, restorasi adalah “diskursus seksi” yang menarik para tokoh dan intelektual bangsa bergabung dalam rangkaian diskusi dan simposium yang diadakan Nasdem beberapa waktu lalu. Tokoh dari berbagai kalangan; hukum, tata negara, sosial, filsafat, pengamat internasional, terlibat dalam simposium nasional Nasdem itu sebagai pembicara. Meskipun sebagian besar dari mereka bukan praktisi politik, namun arah relationship kegiatan itu sudah mulai dapat dibaca.
Saldi Isra misalnya, ketika dia mengatakan ada ancaman otoritarianisme baru dalam Sekretaris Gabungan (Setgab) antar partai pendukung koalisi yang dikomandani Golkar, ratusan kali ucapannya ditayangkan oleh stasiun televisi milik Surya Paloh. Secara tidak langsung, menurut saya, hal itu adalah bagian dari perang tanda antara Surya Paloh dan Aburizal Bakri, yang menjadi “lawan politik” dalam pemilihan ketua umum Golkar 2009 silam.
Dari sini saja dapat kita resapi, mengharapkan Nasdem untuk menjadi wadah penyelesaian problem kebangsaan berlandaskan open society (keterbukaan sosial) jauh dari harapan. Alih-alih untuk menjadi aras restorasi politik bersama, Nasdem saya kira akan menjadi kekuatan politik baru yang akan merongrong kedigdayaan partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, PDI-P dan PKS.
Ke depan, orang-orang yang merasa kecewa dalam partai-partai lain kemungkinan besar akan “nimbrung” mencari popularitas politik mendulang kekuatan baru pra pesta demokrasi 2014.
Mengingat pemimpin umumnya berasal dari kader Partai Golkar yang cukup berpengaruh dan senior, maka bukan tidak mungkin partai berlambang “beringin tua” itu yang paling merasakan dampaknya. Dijamin, akan ada banyak kader Golkar yang hijrah ke Nasdem. Golkar terlalu tua, sulit diatur, dan kurang memberikan ruang ekspresif kaum reformis. Persepsi itu setidaknya menjadi akar politis banyaknya kaum muda Golkar yang tertarik bergabung.
Politik Organik
Berdirinya Nasdem sebagai ormas diharapkan sebagai kekuatan politik sipil yang dibutuhkan bangsa ini. Apalagi kalangan intelektual muda banyak bergabung di sana seperti Rektor Universitas Paramadian, Anis Baswedan, yang ia justru menjadi pembaca orasi deklaratif restorasi di panggung. Idealnya, kalau memang konsisten sampai hayat sebagai ormas, Nasdem akan menjadi “kekuatan politik organik” yang netral, tapi berpengaruh. Netralitasnya, didukung dengan kelompok elite “bergairah” (intelektual) diharapkan menjadi kekuatan politik masyarakat yang berkontribusi besar terhadap pembangunan bangsa kelak.
Kalau Nasdem tetap jadi ormas, semua kalangan masyarakat akan dengan suka rela membantu dan bergabung di sana. Usianya juga akan bertahan lama sebagaimana ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Dalam sejarah politik Indonesia, belum ada parpol yang mencapai usia senja seperti ormas, kecuali diracik ulang, agar tetap terasa “sambal”-nya dan “gurih”-nya. Berpengaruh.
Namun, bila Nasdem akan menjadi embrio parpol menjelang Pemilu 2014, siap-siap saja menjauh dari habitat kesengsaraan dan penderitaan rakyat kalau tidak kredibel dan konsisten memperjuangkan ketahanan sosial masyarakat. Karena “Parpol Nasdem” akan menjadi kelas politik dengan ekslusifitas dan elitisme. Itu pasti. Saya kira.
Semarang, 3 Juli 2010
(Dimuat di Harian Sore Wawasan, Rabu, 07 Juli 2010)
Posting Komentar