-->
Kisah Angin (1)
Malam ini ritual itu akan aku mulai lagi, entah sudah berapa lama aku memulai ritual ini, dan sudah berapa angin aku sapa, berapa bintang yang aku lukis di memori otakku, aku lupa. Yang aku tahu dan aku ingat, hanya ada satu yang selalu tetap dan tak berubah, Purnama.
Bagiku, ini lebih dari sekedar ritual, kewajiban, bukan lagi sunnah, apalagi makruh. Aku sangat membutuhkannya. Biar saja orang menganggapku gila, sinting, gendheng, kesurupan, atau semacamnya. Terserah, yang penting aku bahagia dan menikmatinya.
Aku melewati tangga lingkar menuju lantai dua dan melangkah menuju genting sebelah tangga. “Hap!,” aku pun duduk memeluk lututku, meski dingin tak begitu rupa, tapi aku bagai memeluk purnama. Begitu hangat sinarnya.
Setiap tengah bulan aku selalu di sini. Jika ada yang mencari aku, pastilah mereka tahu di mana. Selepas ngaji bandongan Ushfuriyah tiap tanggal lima belas, aku pun akan bergegas ke tempat peraduanku, tanpa banyak kata melangkah menemui kekasihku, purnama. Hingga teman-teman di pesantren memanggilku anak angin.
Dalam sinarnya aku merasakan kehangatan, meski sang pawana menimangku dalam gigil, tapi aku tetap dalam pendirianku. Aku ingin menemani kekasihku hingga pagi.
Entah kenapa aku begitu tergila-gila dengannya, purnama. Apakah benar karena ia yang kunanti selama ini tak kunjung kembali. Mata itu…!! Mata yang selalu kusambut dengan senyum tiap pagi di gerbang sekolahku. Masih terlalu kecil mungkin, ketika biru putih masih mendekap tubuh mungilku. Lucu memang, tapi itulah adanya.
Mata itu bersinar, teduh layaknya rembulan, aku tak pernah tahu namanya, yang aku tahu mata itu adalah purnama yang muncul di siang hari. Begitu tenang, teduh bagiku, entah bagi orang lain. Hingga di suatu pagi aku tak pernah melihatnya lagi lewat gerbang hijau sekolahku, sehari, dua hari, hingga seminggu barulah aku tahu ia meninggalkanku. Bersama orang tuanya ke tanah selatan Jawa, Yogyakarta .
Aku tak pernah bertanya siapa namanya, atau lebih tepatnya aku tak pernah ingin tahu siapa namanya, karena yang kuingin hanyalah memanggilnya PURNAMA. Aku memenggal empat huruf terakhir menjadi “NAMA” untuk sebuah nama kecil yang begitu indah.
* * * * *
Kisah Purnama (1)
Kumulai langkah baruku, bersama sepenggal kisah yang akan aku rangkai kembali bersama sepenggal kisah lain. Di dalam gerbang di hadapanku ini ada jawabannya, begitulah kata hatiku. “Pondok Pesantren Putra Putri Asyariyah, kau akan menjadi saksi”
Semoga ini bukan ambang batas yang akan menghancurkan semestaku. Aku hanya ingin menjadi saksi juga aktor bagi bertautnya cinta yang terekam mata dalam memori waktu. Dan aku akan menemukanmu. Putri Angin…tunggulah aku.
* * * * *
Kisah Angin (2)
Karena Purnama juga lah, setelah SMA aku bentrok dengan Abahku. Keinginanku meneruskan kuliah ke Yogya tak direstui. Apalah daya, otoritas Abahku sebagai seorang ayah bagiku tak bisa aku tandingi.
“Abahmu ini Kyai nduk…apa kata orang kalau tahu anaknya tak mau masuk pesantren?!” begitulah kata-kata Abahku yang aku benci.
Aku jengah dengan sebutan Kyai untuk Abah, aku tak pernah ingin menganggap Abah sebagai Kyai, bagiku Abah adalah Abah, bukan Kyai. Karena Abahku pula sekarang aku terdampar disini, sebuah pesantren di kota kretek, yang mana akan tercium wangi tembakau dari pabrik kala hujan turun. Nikmat memang, tapi dari sini pula aku harus memendam kisahku tentang Nama dengan peraduanku kala malam.
Aku tak pernah minta banyak pada purnama, aku hanya memintanya menemaniku satu malam saja tiap bulan, tidak lebih. Dan itulah yang sudah ia lakukan, dengan senyumnya merangkulku.
Suara teman-temanku di gotakan lamat-lamat mulai menghilang, mungkin mereka sudah tertidur. Kupandang jam tangan warna silver di pergelangan kiriku, pukul 00.05 WIB. Sudah lewat tengah malam, pantas sudah tak ada suara, tapi dengarlah kegaduhan akan kembali muncul tiga jam lagi. Saat Mbak Aini sang lurah pondok melantunkan sholawat dan berbekal sajadah memukul kaki para santri. Tak sakit memang, tapi cukuplah untuk mengembalikan nyawa mereka yang sudah berkelana hingga ke negeri Obama untuk menghadap Ilahi bersama hajat dan tahajud.
Tapi pukulan sajadah itu tak cukup manjur untuk beberapa santri, jika Mbak Aini sudah berpindah ke gotakan lain, tak ayal santri mbeling itu akan kembali memeluk bantal atau transmigrasi ke lemari besar tempat baju-baju seragam sekolah digantungkan.
Jika beruntung, tak akan tertangkap pengurus, tapi jika tertangkap, siap-siap menghadap Bu Nyai dan membaca Asma’ul Husna dua puluh kali di hadapan beliau. Sebuah hukuman yang mendidik tanpa harus dengan kekerasan.
Selama aku hampir tiga tahun disini, aku belum pernah sekalipun tertangkap pengurus, padahal aku jarang ikut jama’ah, lucu memang, tapi itulah kenyataannya.
“Ia belum datang juga….” Dengusku agak kesal.
“Kenapa awan-awan itu menggangguku? Ayolah sayangku….cepat datang, aku tak mau embun-embun itu membasahi mataku hingga aku tak dapat melihat jelas rupamu” ucapku pada langit.
Tak berapa lama senyumku terkembang, akhirnya engkau datang juga….memang benar parasmu serupa dengan mata itu, mata yang selalu menghiasi mimpiku, mata purnamaku, yang sampai sekarang aku tak tahu ia dimana. Yang pasti, ia selalu ada disampingku.
“Zul…bangun!! Zulaicha…bangun, tahajud!!” mataku mulai meraba dunia,
“Hhhhh….” Aku mengerjapkan mataku beberapa kali.
“Bangun, tahajud!!!” ternyata Mbak Aini yang membangunkanku, tak terasa aku tertidur di atas atap, ku pandang lagi ia, ternyata masih ada di langit, meski sudah pindah beberapa derajat dari tempat semula, tapi cukuplah untuk menyapaku sebelum embun merayuku.
* * * * *
Kisah Purnama (2)
Aku kedinginan karena sapaan angin semalam, aku melihatnya di gelap malam, senyumnya merekah kala ia datang menyapa, sapaan purnama itu ia terima dengan do’a. Semoga ia tak melihatku sedang mengawasinya. Ternyata benar, ia begitu cantik dalam pantulan cahaya purnama, apalagi ketika ia pulas berselimut angin di atas sana , ternyata Purnama memang tak bohong dalam kisahnya.
* * * * *
Kisah Angin (3)
Sholawat fajar memaksaku untuk meninggalkan purnama, kewajiban para santri saat jum’at fajar dimulai dan sebelum subuh berkumandang. Aku melihat kantuk masih menyergap mata kawan seperjuanganku, tapi begitulah, perjuangan yang sama dalam meraih cita, tapi tak sama dalam cinta, itu menurutku, tapi entah menurut mereka.
Kewajiban yang sama pun kembali hadir, ketika hari libur bagi santri yang sekolah, tapi tak libur untuk ro’an di pondok. Santri yang kemungkinan besar di rumah hanya bersantai, jangan harap bisa terlaksana pula di pondok.
Mata pengurus setajam elang, menyisir setiap sudut pondok, selain acara ro’an, acara yang juga ditunggu oleh pengurus adalah melaksanakan takziran bagi santri yang menjadi terdakwa kasus berat, menguras got.
Aku tak berminat melihat teman-temanku yang menjadi terdakwa kasus, bisa kualat, istilahnya bergembira dan tertawa di atas penderitaan orang lain. Aku tak mau seperti pejabat yang duduk di kursi empuk, dapatkan keinginan, tapi kemudian tertawa di atas penderitaan rakyatnya. Aku akhirnya memilih bergabung di belakang pondok, mencuci bajuku yang sudah menumpuk bak tumpukan hamburger yang siap disantap.
“Tahu tidak, ada santri putra baru lho, ganteng, Gus Yusuf namanya, putra kyai dari Yogyakarta ” kata Mbak Ratih yang mencuci menggunakan kran air di sampingku. Gosip dari Mbak Ratih pun menjadi bahan obrolan hangat di tempat cuci pagi itu
Cerita tentang sang pangeran bergulir bak bola salju, ada bumbu-bumbu disana-sini, entah dia anak kyai lah, pintar baca kitab lah, tapi bagiku itu hanya uap dari santri baru. Dua atau tiga bulan lagi juga surut episode tentangnya.
* * * * *
Kisah Purnama (3)
Hijabmu putih bersih bercorak mawar, sesekali kamu mengibaskan tanganmu menghalau debu dan asap centil yang mengganggu hidung dan mata cantikmu, langkahmu seanggun angin pantai sayang. Engkau melangkah bersama beberapa buku diktat kuliah di tangan melewati gerbang dan berjalan di samping ndalem. Aku pun beranjak dari persembunyianku dan melewati jalan di samping kamarmu, berharap akan melihatmu dari balik satir. Namun, yang kutemukan justru suara kawan-kawanmu yang membuatku malu dan berlalu.
* * * * *
Kisah Angin (4)
“Itu dia orangnya,” tunjuk seorang santri putri dari balik jendela gotakan. Santri sekamarku pun bergegas ingin melihat santri baru yang jadi buah bibir itu.
Aku baru masuk gotakan melihat kegaduhan yang terjadi, tapi sumpah, aku hanya ingin melihat dan ikut meramaikan saja. Perawakannya gagah, meskipun tak begitu tinggi, tapi sayang aku hanya melihat punggungnya sekilas. Tapi rasanya aku pernah melihat punggung itu, tapi dimana
Terserahlah, aku tak ingin larut dengan euphoria kaum hawa yang sedang pubertas, aku hanya ingin purnama, tak mau tahu soal lelaki lain, yang wajahnya saja aku tak tahu. Meskipun terkesan sok, entahlah, hanya ia yang ada dalam alam pikirku.
* * * * *
Kisah Purnama (4)
Akhirnya aku temukan dia, setelah sekian waktu petualanganku mencari jejaknya kembali, demi mengurai kisah klasik yang pernah tercipta, dari serakan-serakan puisi usang dan bersimbah noktah merah darah.
Meskipun hanya sekilas mata aku melihatnya, tapi aku tahu itu dia, sang angin….Tak tahu ia melihatku ataukah tak hiraukan keberadaanku, atau bahkan ia lupa segala kisah lalu. Rasanya mungkin memang indah jika jalannya tak seperti ini. Tapi entahlah, siapa yang akan tahu jalan di depan, lurus, bergelombang, atau berkelok, sedangkan aku belum pernah melewatinya.
“Semoga semua akan baik-baik saja” pintaku dalam hati penuh harap.
* * * * *
Kisah Angin (5)
Ini sudah kesekian kali aku menemukan kertas berukir sepenggal puisi yang dilempar lewat jendela kamarku, ketika aku tengok keluar ternyata yang aku temukan punggung yang sama dengan lelaki gagah idaman santri putri itu.
Entah ditujukan pada siapa puisi ini.
Sang Angin telah kembali….
Bersama ketenangan yang meredam cekam
Akankah kau tahu purnama kedua menanti
Hanya sebait puisi, singkat, padat, tapi sarat pesan. Akhirnya aku beranikan menulis rangkaian aksara. Tiba-tiba terdengar suara bisikan yang memanggil dari bawah jendela kamarku yang memang merupakan jalan pemisah antara pondok putra dan putri.
“Masya Allah….mata itu…mata purnama, tapi mungkinkah” batinku berkecamuk hebat.
“Si…siapa kamu?” suaraku bergetar.
“Aku purnama, balas ya puisiku” katanya penuh senyum.
Aku pun segera melemparkan kertas yang tadi sempat aku corat-coret, tanpa basa-basi, tanpa senyum aku pun kemudian berlalu dari jendela. Karena aku tak mau ia melihat wajahku yang berubah merah.
* * * * *
Kisah Purnama (5)
Pertama kali aku berbicara dengannya, memang begitu sejuk suaranya, laksana angin, kadang ia lembut, tapi kadang juga bisa setegas topan.
Aku tangkap kertas pemberiannya, tapi kenapa ia begitu cepat berlalu, apa mungkin caraku salah. Aku melangkahkan kakiku kembali ke kamar. Kubuka kertas pemberiannya.
Siapa dalam malam
Apakah hanya angin?
Kuharap tiada awan yang begitu angkuh
Hingga aku tak tahu siapa dalam pandang
Yang begitu ramah menyapa
Senyumku tiba-tiba merekah, aku tak tahu ternyata ia bisa merangkai kata. “Purnama, ini semua untukmu, bukan untukku” bisikku seraya melipat kertas yang baru saja aku baca.
Aku kembali membuka rangkaian puisi yang aku susun rapi tiga tahun lalu, penuh warna merah di beberapa tempat. Aku belajar puisi darinya, dari orang yang begitu penuh cinta hingga rela melakukan semua demi cinta.
Di lembar pertama aku membaca sepenggal puisi tertanggal 26 November lima tahun lalu.
Begitu angkuhkah dirimu
Hingga tak pernah menyapa dalam suara
Hanya mata yang berbicara
Dari sekelebat pandang dari sudut jendela
Lembar berikutnya kubuka, ada kesaksian tentang pemilik puisi ini, juga tentang cintanya.
Aku adalah purnama
Kala malam sekuning mentari
Kala siang seputih salju
Aku adalah purnama
Menanti angin yang begitu jauh
Namun cintanya begitu tenang mengalir
Melewati nadiku yang sejenak terdiam
Karena sentuhanmu yang tak kunjung hilang
Tak terasa air mata ku menetes, aku tak pernah bosan membaca lembar demi lembar tumpukan kertas yang sudah mulai berwarna kecoklatan dan kumal. Mungkin karena terlalu sering aku baca.
Begitu dingin tulisannya tapi juga begitu hangat cintanya. Aku mendenguskan nafasku untuk kesekian kalinya. Semoga aku bisa mewujudkan keinginan terakhirmu, wahai purnama pecinta angin.
* * * * *
Kisah Angin (6)
Kutemukan lagi ceriaku, kutemukan lagi nafasku. Akhirnya kutemukan purnamaku, cinta memang tak terduga kapan kan kembali. Ternyata sang pelempar kertas itu adalah purnama, dan ternyata selama ini ia juga mencariku.
Kumulai lagi kisahku dari awal, merangkai cintaku yang sempat berserakan tak tentu arah. Kupunguti satu per satu kenanganku dan merangakainya menjadi mozaik merah jambu dalam hidupku.
Kini dalam sujudku tiada lagi keluh kesah pada Sang Pemilik Cinta, karena Ia telah membagi sedikit padaku, tapi cukuplah bagiku. Tuhan telah melakukan semua dengan caraNya, dengan segala bentuk yang tak terduga.
Meski kasihku masih terhalang tembok salafi, tapi cukuplah hanya berbalas sapa lewat kertas dan jendela. Meski kadang harus berhimpitan dengan keamanan jeruji salafi yang kadang tak kenal hati.Tapi bagiku semua terasa indah.
* * * * *
Kisah Purnama (6)
"Ya Allah...maafkan hamba, ini semua hamba lakukan karena tak ingin semua cinta yang ada berakhir sia-sia Ya Allah...." rintihku malam ini dalam sujudku.
"Ketika semua diamanahkan padaku, hamba tak kuasa menolak di detik terakhir mata sang purnama tertutup, apa yang harus hamba lakukan Ya Rabb....haruskah hamba melanjutkan ini semua.....," desahku.
Entahlah, dia terlalu indah hingga aku tak kuasa jika harus berdusta, tapi bagaimana aku harus berkata, sedangkan mulutku telah digembok tanggung jawab tentang penghormatan cinta yang tak sempat diungkap dengan kata.
* * * * *
Kisah Angin (7)
Ini pertama kali aku duduk disampingnya, setelah mengendap lewat pintu belakang samping kamar mandi pondok. Berjanji bertemu di bawah pohon mahoni samping makam, mataku melirik kanan kiri takut akan ada santri lain yang melihat.
Aku tak berani memandangnya, mataku hanya tertunduk memandangi kakiku dan sandal jepitku. Hingga kalimat itu terucap, kalimat yang membuat langit seakan runtuh dan hanya ada surga di atas kepalaku.
“Bolehkah aku menjadi suamimu?” tanyanya singkat.
* * * * *
Kisah Purnama (7)
Dadaku menjadi bergemuruh, ternyata kalimat itu terlontar juga dari mulutku. Aku hanya bisa bermain ombak di hatiku sendiri. Angin maafkan aku, seharusnya kalimat ini tak terucap dari mulutku. Aku bukanlah purnama itu, aku hanya bagian dari matanya saja, tak seharusnya tragedi itu terjadi, ketika ia harus melawan penyakit ginjalnya yang sudah akut. Aku hanya bisa mendengar ceritanya tentangmu, aku tak pernah melihat wajahmu juga wajah purnama karena duniaku gelap sejak aku keluar dari rahim Ibunda.
Hingga akhirnya ia memberikan mata purnamanya padaku ketika matanya telah tertutup tiga tahun lalu, aku melihat banyak namamu di kertas yang ia tinggalkan dengan percikan darah dari mulutnya.
Dan ketika aku berjanji sebelum ia ke surga agar aku menjagamu tanpa mengatakan aku bukan purnama, aku hanya saudara kembarnya. Kuharap engkau tak akan pernah tahu, Maafkan aku angin. Biarkan Tuhan bekerja dengan caraNya.
Yang aku inginkan kini mencintaimu
setulus angin menjadi nafasku,
juga sepenuh purnama menyinariku,
aku ingin mencintaimu sesederhana itu.
Tanpa rupa sang raja,
tanpa kuda sang kesatria,
tanpa jiwa yang penuh luka,
aku ingin mencintaimu sesederhana itu.
“Bolehkah aku menjadi suamimu?”
Kalimat itu terlontar juga, dan kini aku menanti ia menjawabnya.
* * * * *
Kisah Purnama dan Angin (8)
Aku terdiam menanti waktu, juga berfikir tentang kata yang tak pernah terungkap. Jika ini adalah akhir, semoga ini menjadi akhir yang sempurna. Untuk detik yang tak terulang, dan untuk air mata yang jatuh diam-diam. Serupa daun-daun mahoni yang menjadi saksi kebisuanku kini, menanti prosa dan cerita baru yang akan terukir dalam bentang zaman
Cerpen ini adalah runner up dalam lomba cipta cerpen Mahasiswa Se-Indonesia di STAIN Purwokerto, tergabung dalam Kumpulan Cerpen Bukan Perempuan (Grafindo, 2010)
Posting Komentar