Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Film. Tampilkan semua postingan

Film Agak Laen, Ketika Komedi dan Misteri Tampil Melebihi Ekspektasi

Minggu, Maret 03, 2024

Bertahun-tahun lamanya, sejak kebangkitan film Indonesia di tahun 2000-an, belum ada film komedi original yang tingkat kelucuannya berbanding lurus dengan tingginya jumlah penonton. Bahkan, beberapa tahun ke belakang, film-film horor masih menjadi film yang paling digandrungi masyarakat Indonesia. 

Hingga kemudian, 1 Februari 2024, Film Agak Laen hadir di bioskop dan meledak di pasaran. Banyak penonton yang rela antre panjang untuk menonton film yang disutradarai Muhadly Acho ini. 


Di hari perdana penayangannya saja, Film Agak Laen sudah bisa meraih 181.689 penonton, dan jumlah penontonnya terus menanjak setiap harinya, dan bahkan di hari penayangan yang ke-12, jumlah penonton Film Agak Laen sudah menembus angka 4 juta penonton. Tentunya sebuah pencapaian yang luar biasa.  

Judul film Agak Laen sebenarnya bermula dari podcast dengan judul yang sama, dimana digawangi oleh orang-orang yang sama dengan pemeran utama Film Agak Laen, yaitu Boris Bokir, Oki Rengga, Indra Jegel, dan Bene Dion.

Saya menonton film ‘Agak Laen’ ini di hari ke-4 (weekend). Awalnya saya tak berekspektasi banyak untuk film ini, apalagi saya adalah tipe orang yang sulit tertawa dan cukup selektif terhadap jokes-jokes yang muncul di film, sinetron, atau acara stand up. Maka dari itu, saya baru berani mengatakan sebuah film itu lucu ketika saya bisa tertawa terbahak-bahak, dan ternyata itu saya dapatkan ketika menonton Film Agak Laen ini. Bravooo!!

Pembuka Tanpa Tawa

Film ini berkisah tentang wahana pasar malam, di mana Boris Bokir, Indra Jegel dan Bene Dion yang menggawangi wahana rumah hantu mengalami kesulitan karena wahana mereka di ujung kebangkrutan. 

Jangan berharap bisa tertawa di 10 menit awal film ini dimulai, apalagi dengan ditampilkannya adegan kekerasan pada sosok Oki yang sedang menjadi talent di wahana lempar bola, ia tampil menggunaan baju perempuan yang kemudian menjadi bahan tertawaan pengunjung pasar malam.

Awalnya saya agak bingung kenapa adegan kekerasan seperti ini menjadi opening film? Tapi kemudian saya berpikiran bahwa seperti itulah kehidupan real life di sekitar kita, di mana kita seringkali tertawa di atas penderitaan orang lain, merasa senang di saat orang lain susah, merasa susah di saat orang lain senang.  

Oki Rengga yang baru saja dipecat setelah membuat keributan di wahana lempar bola, kemudian mendatangi Boris, Jegel, dan Bene di rumah hantu.  Oki ingin bergabung ke wahana rumah hantu, tapi teman-temannya menolak karena Oki yang berstatus mantan narapidana serta kondisi keuangan wahana rumah hantu memang sedang memprihatinkan. 

Apalagi tak hanya mereka berempat yang hidup dari wahana Rumah Hantu, tapi ada juga Marlina (Tissa Biani) yang bertugas sebagai penjaga tiket. Tissa Biani hadir sebagai perempuan baik-baik yang lucu, lugu dan menjunjung tinggi sopan santun. Hal ini ditandai dengan gesture Marlina mencium tangan Oki saat bertemu sebagai bentuk sopan santun pada yang lebih tua. 

Sumber: instagram/tissabiani

Menyelesaikan Masalah dengan Masalah

Kembali ke soal wahana rumah hantu, Oki memiliki ide yang ia kemukakan pada teman-temannya agar wahana rumah hantu bisa laris manis. 

Bermodal ide dan juga surat tanah yang ia curi dari ibunya. Oki akhirnya diterima bergabung, apalagi mereka berempat sama-sama harus segera mendapatkan uang, Boris yang harus mengumpulkan uang untuk mencapai mimpi mamaknya agar ia jadi tentara, Jegel yang terlilit hutang rentenir, Bene yang harus memenuhi permintaan calon mertuanya untuk membuat pesta pernikahan yang mewah, serta Oki yang harus membiayai pengobatan ibunya.  

Mereka berempat pun melakukan perubahan besar-besaran di wahana rumah hantu, baik itu dari segi make up, desain rumah, interior, dan gimmick-gimmick perhantuan lainnya. Saat mereka sudah percaya diri dengan perubahan rumah hantu mereka, masalah menerpa. Ada seseorang yang mati di rumah hantu, dan gawatnya, orang itu adalah seorang calon legislatif. Mereka panik dan ketakutan karena takut ditangkap polisi sebagai pembunuh. Akhirnya mereka mencari akal bagaimana menyelesaikan masalah, tapi akhirnya malah semakin menambah masalah. 

Sumber: instagram/pilem.agak.laen

Paduan Komedi dan Misteri

Film Agak Laen ini bisa dikatakan sangat berhasil memadukan komedi dan misteri. Ibarat masakan sangat pas. Tentunya tidak mudah menjadikan misteri menjadi sesuatu yang lucu, namun ternyata Acho sebagai penulis dan sutradara berhasil melakukannya. 

Belum lagi, bit-bit komedi yang pecah banget, rasanya belum selesai kita tertawa, kita sudah disuguhi adegan-adegan lain yang membuat kita mau tak mau harus tertawa lagi, dan itu benar-benar membuat jiwa-jiwa yang jarang tertawa karena banya masalah, bisa merasakan kebahagiaan maksimal saat menonton film ini. 

Apa semua bit komedi di film ini berhasil? Tentunya tidak, beberapa di antaranya ada pada part Soleh Solihun yang terkesan dipaksakan untuk lucu, tapi gagal lucu.

Namun, di sisi lain, banyak sekali adegan-adegan lucu yang tentunya natural, bahkan Oki bilang ‘Sambil’ aja bisa pecah banget komedinya. Termasuk ketika Oki mengungkapkan amarahnya pada Intan (Indah Permatasari) yang berperan sebagai pelakor, saya seperti melihat netizen yang sedang merutuki pelakor di media sosial X, berasa banget julidnya. 

Kritik Politik Lewat Komedi 

Film yang memang hadir dari para komika, tentunya akan hadir pula banyak keresahan-keresahan yang kemudian dimunculkan sebagai komedi, termasuk di dalamnya keresahan mereka tentang dunia politik.

Munculnya tokoh caleg Basuki Mulyadi (Arief Didu) yang berselingkuh tentunya menjadi gambaran buruk para politikus di negeri ini, karena jeratan harta, tahta, wanita itu memang benar adanya. 

Bit-bit politik lain yang muncul di film ini juga tak kalah kocaknya. Salah satunya saat adegan Marlina (Tissa Biani) bersama Komandan Polisi di warung makan, benar-benar ngena sekali punclinenya. 

Pemilihan masa tayang jelang pemilu juga sepertinya menjadi strategi jitu untuk menyindir para caleg serta politikus yang berlaga di masa kampanye, bahwa sebenarnya masyarakat itu tahu betapa buruk dan kotornya dunia politik itu.

Apakah semua elemen mendapatkan porsi untuk mendapatkan ‘cubitan’ dari film ini? Sebenarnya saat institusi polisi muncul di film ini, saya menunggu bagaimana film ini akan menyindir kebobrokan institusi kepolisian, tapi ternyata, sampai akhir film Acho memilih untuk bermain aman dan bahkan menempatkan polisi terlihat heroik di film ini. 

Pemilihan Setting yang Agak Laen

Penggunaan set Wahana Rumah Hantu dan Pasar Malam bisa dibilang sesuatu yang tidak biasa. Di tengah banyaknya tempat wisata aestetik yang menjamur beberapa tahun terakhir, Pasar Malam tentunya menjadi pilihan yang menggembirakan untuk mengajak anak 90an untuk bernostalgia.

Mengingatkan kita bahwa sebelum jadi anak senja dan anak kopi kekinian, kita lebih dulu merasakan bahagia dengan naik komidi putar dan bianglala.

Pemilihan nama ‘Rawa Senggol’ saya pikir sebagai tempat yang fiktif, tapi kemudian ketika membaca tulisan ‘Polres Depok’ di film itu rasanya ingin tertawa. Memang menjadi sesuatu yang pas ketika menempatkan Rawa Senggol di Depok, karena bagi netizen, Depok memang dikenal sebagai kota yang Agak Laen, hahaha.

Sumber: X.com/convoms

Pro Kontra Disabilitas di Film Agak Laen

Adanya karakter Obet (Sadana Agung) sebagai seorang tuna wicara juga memunculkan pro kontra di kalangan netizen. Banyak yang menganggap karakter Obet mendiskriminasi teman-teman dengan disabilitas. Tapi menurut saya justru adanya Obet ini justru ingin menyuarakan bahwa teman-teman disabilitas bisa diterima di tengah masyarakat. 

Sumber: instagram/sadanaagungs

Kemunculan Obet sepertinya juga sebagai bentuk perwujudan istilah ‘saksi bisu’ dalam sebuah kasus kriminal, dan di film ini mencoba menghadirkan saksi yang benar-benar bisu. 

Dalam kesehariannya, Obet juga berkarakter ‘sedikit bicara banyak bekerja’, ini tentunya juga bisa menjadi kritik bagi masyarakat yang seringnya tampil ‘lebih banyak bicara sedikit kerjanya’. 

Adanya Ernest sebagai Juru Bicara Isyarat di film ini menurut saya bisa dianggap sebagai sebuah kampanye baik tentang pekerjaan ini. Agar masyarakat tahu bahwa ada ragam pekerjaan untuk ‘Juru Bicara Isyarat’, tidak hanya sebagai juru bicara isyarat ketika penayangan berita saja. 

Film Komedi Terlaris Indonesia

Siapa yang keluar bioskop terus terngiang-ngiang dengan lagu Agak Laen? Hahaha. Lagu Agak Laen yang dinyanyikan oleh Boris, Bene, Jegel, dan Oki ini memang easy listening, dan bisa dibilang menjadi trade mark tersendiri untuk film garapan Imajinari yang memiliki unsur Batak, karena sebelum ada di Film Agak Laen, lagu ini juga muncul di Film Ngeri-Ngeri Sedap. Hayoo, siapa yang baru sadar, nih? 

Ketika menonton film ini di hari ke-4 tayang, saya sudah berpikir bahwa film ini akan bisa meraup jutaan penonton, dan ternyata benar-benar terbukti, tak hanya 1 atau 2 juta penonton, tapi di hari ke-31 penayangannya, Agak Laen sukses dengan 8 juta penonton, dan tentunya masih akan terus bertambah. 

Sumber: instagram/pilem.agak.laen

Dengan raihan jumlah penonton ini, Agak Laen berhasil menjadi film komedi dan film dengan skenario asli terlaris di Indonesia. Congrats Agak Laen! Menyala abangkuuu! (*)


Read More

Dilan 1990: Tentang Nostalgia pada Rindu dan Cinta Masa SMA

Minggu, Agustus 29, 2021

Membuat film yang diangkat dari sebuah novel laris memang tidaklah mudah. Ada ekspektasi dari para pembaca yang mau tidak mau harus diakomodir, tentang imajinasi rupa para tokohnya, juga tentang setting tempat dalam novel yang sebisa mungkin harus bisa diwujudkan semirip mungkin.

Hal ini juga terjadi pada film Dilan 1990 yang diangkat dari novel best seller karya Pidi Baiq. Fajar Bustomi dan Pidi Baiq sebagai sutradara harus bekerja keras untuk tidak mengkhianati imajinasi pembaca tentang sosok Dilan dan Milea yang sudah membuat banyak pembacanya jatuh cinta.

Dilan 1990

Dilan dan Milea: Penerus Estafet Ikon Kisah Cinta Masa SMA

Kisah cinta masa SMA memang selalu bisa menjadi magnet dalam sebuah film. Namun, tak semua film yang mengangkat kisah cinta di masa putih abu-abu bisa sukses dan melekat erat di hati penontonnya. 

Di akhir tahun 70-an, Indonesia memiliki pasangan film ikonik yaitu Galih dan Ratna (Gita Cinta dari SMA), setelah dua dekade barulah kemudian muncul pasangan Rangga dan Cinta (Ada Apa dengan Cinta), hingga kemudian di tahun 2018 hadir pasangan Dilan dan Milea (Dilan 1990). 

Pasangan dalam film bisa disebut ikonik tentu tidaklah mudah, ada lambang dan simbol yang dibangun apik sehingga ingatan itu melekat pada penonton. Coba saja kita sebut nama ‘Dilan’, maka secara otomatis ingatan kita juga akan merujuk pada sosok ‘Milea’. 

Tidak hanya pada nama tokohnya, film Dilan 1990 juga berhasil mengangkat simbol lain yang melekat pada sosok Dilan dan Milea. Jika di novel tidak disebutkan secara rinci bagaimana penampilan Dilan dan Milea sehari-hari. Maka pada film Dilan 1990, divisi wardrobe berhasil menampilkan kekhasan pakaian pada sosok Dilan dan Milea. Dilan dengan jaket jeans belel warna biru, serta Milea yang mengenakan jaket baseball warna merah. 

Jaket jeans warna biru dan jaket baseball warna merah ini selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan ketika kita ingin menggambarkan sosok Dilan dan Milea. Bahkan, ketika Dilan dan Milea ditampilkan dalam sketsa atau iklan televisi, jaket jeans serta jaket baseball tidak akan ketinggalan untuk ikut ditampilkan. 

Visualisasi Dilan dan Milea

Seperti yang sudah saya sampaikan di awal, memilih sosok yang bisa memvisualisasikan Dilan dan Milea tentunya tidaklah mudah. Saya sebagai salah satu pembaca novelnya memiliki perasaan harap-harap cemas ketika mengetahui bahwa Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla yang didapuk sebagai pemeran Dilan dan Milea. 

Rasa cemas ini bukanlah tanpa alasan, karena seringkali saya merasa kecewa ketika melihat akting aktor dan aktris dalam film yang diangkat dari sebuah novel dan tidak sesuai ekspektasi. Apalagi Iqbaal selama ini dikenal sebagai sosok yang kalem dan tidak pecicilan, sedangkan untuk Vanesha, Dilan 1990 adalah film pertamanya dan ia langsung didapuk jadi pemeran utama wanita. Pertanyaan saya sebelum menonton Dilan 1990 adalah “Bisa nggak ya, mereka memerankan Dilan dan Milea dengan baik?”

Capture Film Dilan 1990

Dan setelah saya menonton filmnya, saya bisa tersenyum lega, ternyata Iqbaal dan Vanesha bisa menghadirkan sosok Dilan dan Milea dengan sangat baik. Meskipun yah, saya masih agak terganggu dengan cara tertawa Milea yang agak cringe dan kurang tulus saat mendengar dan menanggapi joke dari Dilan, tapi so far nggak terlalu masalah sih, saya masih bisa menikmati filmnya.   

Sedangkan untuk sosok Dilan, saya cukup terkejut ternyata Iqbaal bisa memvisualisasikan sosok Dilan dengan baik. Iqbaal bisa menghadirkan sosok Dilan yang garang sekaligus bucin. Mimik wajah Iqbaal saat merayu dan melancarkan gombalan pada Milea, ternyata berhasil membuat saya ikut tersenyum dan tersipu. 

Bandung dan Rasa 1990 yang Kuat

Setting Bandung tahun 1990 memang terasa kuat di film Dilan, untungnya setting Dilan 1990 tidak banyak yang mengambil lokasi-lokasi publik seperti pasar atau terminal. Paling hanya sekolah, rumah, warung Bi Eem, dan jalanan pinggir kota. 

Rumah dan sekolah yang ada di Bandung tentu masih banyak yang bergaya lama, sehingga tidaklah sulit untuk menemukan setting untuk memperkuat tahun 1990. Termasuk juga ketika Dilan dan Milea berboncengan naik motor, dipilih setting jalanan yang cenderung sepi agar tidak muncul unsur-unsur modern di dalamnya. 

Meskipun begitu, ada setting yang agak mengganggu, yaitu ketika Bundanya Dilan yang diperankan oleh Ira Wibowo mengantar Milea pulang. Saat di mobil terlihat pemandangan di luar mobil tampak sekali unsur CGI nya. 

Saat menontonnya saya berpikiran, “Kok pakai CGI, sih?” Hingga kemudian saya ingat bahwa setting waktu film ini adalah tahun 1990, dan tentunya akan cukup sulit menghadirkan visual jalanan tahun 1990 tanpa menggunakan CGI. 

Sedangkan untuk properti pendukungnya bisa dibilang sudah mewakili tahun 1990an, seperti telepon umum, motor CB 100, bus yang digunakan untuk ke TVRI Jakarta, juga model becak lama yang digunakan. 

Pemain Pendukung dan Cameo Kejutan

Dilan 1990 bergulir semakin apik dengan hadirnya para pemain pendukung dengan kualitas akting yang mumpuni, sehingga bisa semakin membawa cerita Dilan 1990 ke arah yang tepat. Seperti Ira Wibowo (Bunda Dilan), Happy Salma (Ibu Milea), Farhan (Ayah Milea), Adhysti Zahra (Adik Dilan), Tike Priatnakusuma (Bi Eem), Rifku Wikana (Pak Suripto), juga Joe P Project (Ayah Beni), dan Brandon Salim (Beni) .

Dan tentunya yang tidak kalah mengejutkan adalah kehadiran Ridwan Kamil sebagai salah seorang Guru di sekolah Dilan dan Milea, yang saat film ini dirilis Ridwan Kamil masih menjabat sebagai Walikota Bandung. Meskipun hanya muncul sekilas dengan dialog yang singkat, namun kehadiran Ridwan Kamil ini tentunya menjadi warna tersendiri di film ini, apalagi akting Ridwan Kamil terbilang luwes dan tidak kaku. 

Selain Ridwan Kamil, kehadiran Sissy Priscillia sebagai narator sosok Milea Dewasa juga menjadi kejutan tersendiri. Sissy yang merupakan kakak kandung dari Vanesha Prescilla, keduanya memiliki kemiripan dalam hal wajah. Hal ini menurut saya tentunya menjadi pilihan yang tepat, karena sebagai penonton, saya merasa terbantu ketika harus mengimajinasikan sosok Milea Dewasa yang hidup di tahun 2019 yang sedang menceritakan masa lalunya di tahun 1990. 

Pidi Baiq dan Nyawa di Film 1990

Infografis Dilan 1990 (dari berbagai sumber)

Saya berani mengatakan bahwa kehadiran Pidi Baiq sebagai Sutradara bersama Fajar Bustomi serta penulis skenario bersama Titien Wattimena menjadi keunggulan di film ini. Tak banyak penulis yang novelnya diangkat menjadi film, ikut terjun juga sebagai penulis skenario juga sutradara di filmnya. 

Namun, hal ini tentunya sebuah pengecualian untuk Pidi Baiq, karena menurut saya, Pidi Baiq memang harus hadir secara langsung dalam proses penggarapan film ini, karena Pidi Baiq adalah nyawa untuk sosok Dilan. 

Banyak teori yang mengatakan bahwa Dilan adalah Pidi Baiq, tapi entah benar atau tidak teori tersebut, sosok Dilan, Milea, juga teman-teman lainnya memang benar-benar ada di dunia nyata, dan Pidi Baiq juga mengakui hal tersebut. 

Penggambaran sosok Dilan dalam novel dan film, yang garang sekaligus romantis, pembangkang sekaligus bucin, juga memiliki ide-ide yang lucu dan segar ketika mendekati Milea, memang hanya bisa ditulis oleh seorang Pidi Baiq. 

Cerita tentang Dilan yang memberi hadiah buku TTS yang sudah diisi, atau Dilan yang membawa Bi Asih untuk memijat Milea yang sakit, juga ketika Dilan meminta Milea untuk membawa materai yang kemudian ditempel di surat proklamasi cinta mereka. Hal-hal tersebut tentunya menjadi ide romantis sekaligus kocak yang menurut saya hanya bisa terpikirkan oleh Pidi Baiq. 

Apalagi ditambah dengan kalimat-kalimat tanda sayang yang diucapkan Dilan pada Milea, 

“Milea, kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu, enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.”

Atau kalimat ikonik yang selalu terngiang dari sosok Dilan, "Kamu jangan rindu, berat, kamu nggak akan kuat, biar aku aja." 

Dilan 1990 (Sumber: IMDb)

Sekarang bayangkan saja, siapa perempuan yang nggak akan jatuh cinta bila bertemu dengan sosok Dilan, bahkan dengan hanya menonton adegan antara Dilan dan Milea di film saja, rasanya membuat kita seperti jatuh cinta kembali. 

Nostalgia dengan Perasaan Cinta Ketika SMA 

Bagi para penonton remaja, film Dilan 1990 tentunya sangat dekat dengan kehidupan mereka. Namun, sebenarnya film Dilan 1990 ini tidak hanya bisa dinikmati oleh mereka para penonton usia remaja, tetapi juga bisa membuat hati berbunga-bunga penonton usia young adult bahkan dewasa. Maka, tidaklah mengherankan jika film Dilan 1990 bisa meraup lebih dari 6 juta penonton. 

Film Dilan 1990 akan mengajak kita yang sudah melewati masa-masa SMA untuk bernostalgia dan mengenang tentang sosok manis yang mengenalkan kita cinta di masa putih abu-abu. Entah itu kekasih pertama, gebetan, atau hanya sekadar sosok tampan yang hanya bisa dikagumi dari jauh. 

OST Dilan 1990 (Sumber: Youtube The Panasdalamusic)

Perasaan nostalgia yang membahagiakan ini semakin lengkap dengan hadirnya original soundtrack dari  The Panasdalam Bank besutan Pidi Baiq yang memiliki lirik sederhana namun maknanya begitu dalam.

Dulu kita masih remaja

Usia anak SMA

Di sekolah kita berjumpa

Pulang pasti kita berdua

Dan kini kamu, ada dimana

Dan kini rindu, apa kabarmu

Dan ingin lagi, ingin lagi 

Jumpa

Dulu kita masih bersama

Asmara anak SMA

Dulu suka selalu denganmu

Di atas motor berdua

Secara keseluruhan saya memberikan nilai 3,5/5 bintang untuk Film Dilan 1990 ini. Kisah Dilan dan Milea bukanlah kisah yang mewah, namun kisah cinta sederhana yang manis antara dua anak SMA yang jatuh cinta dengan segenap tawa, tangis, cemburu, juga amarah. Siapapun yang pernah jatuh cinta di usia remaja, pasti akan bisa merasakan rasa cinta itu tiba-tiba tumbuh kembali ketika menonton film ini. Sebuah cinta yang tidak untuk dikejar kembali, namun cinta yang cukup untuk dikenang secukupnya dan sewajarnya. (*)




     


Read More

Prognosis: Film Animasi Tanpa Kata Namun Penuh Cinta

Rabu, Desember 02, 2020

Bagi penggemar stand up comedy, tentunya tak asing dengan nama Ryan Adriandhy, pemenang Stand Up Comedy Indonesia Season 1 yang digelar Kompas TV tahun 2011.

Ryan memang lama tak muncul di layar kaca, meski begitu bukan berarti ia tak berkarya, karena kini ia kembali dengan sebuah prestasi baru atas karya film animasi garapannya bertajuk Prognosis. 

Berawal dari Thesis

Beberapa tahun terakhir, Ryan memang melanjutkan kuliah animasi di Amerika, tepatnya di School of Film and Animation, Rochester Institute of Technology. Dan sebelum wisuda, Ryan berhasil menyelesaikan Thesis dalam bentuk film animasi pada tahun 2019.

Ryan banyak bercerita tentang film animasinya ini di akun twitternya @Adriandhy, termasuk bagaimana ia bercerita bahwa film ini membuatnya belajar banyak hal, tentang kesabaran, semangat, juga menikmati proses. 

Baca Juga: TILIK, Bu Tejo dan Realita di Sekitar Kita

Tanpa Kata

Film animasi 2D ini berkisah tentang seorang anak yang menemukan sebuah robot luar angkasa saat ia mencari barang-barang bekas di sungai dekat rumahnya. Robot yang ia bawa, ternyata diam-diam bergerak dan merekam segala hal yang terjadi di dalam rumah. 

Film Prognosis yang berdurasi 10 menit 24 detik ini dibuat tanpa kata, hanya ada beberapa hentakan atau lenguhan ekspresif dari tokoh-tokohnya.  Meski begitu, setiap orang yang menontonnya akan tahu bahwa ekspresi tokoh yang ada dalam film ini lebih kuat daripada sekadar kata-kata. 

Seperti halnya ekspresi yang diperlihatkan dalam hubungan anak dan ayah di film ini. Hubungan mereka begitu dingin setelah kepergian ibu dari anak tersebut. Sang Ayah tak pernah tahu bagaimana cara mengekspresikan cinta untuk anaknya, karena ia sendiri terkurung dalam kehilangan dan kerinduan yang teramat dalam pada istri tercinta.  

Baca Juga: Kepingan Rindu yang Berserakan dalam Film Natalan

Ekspresi Terabaikan

Sang anak laki-laki yang selalu melihat ekspresi dingin dari ayahnya tentunya menganggap bahwa ayahnya tak sayang padanya. Sang anak pun terlihat mencari perhatian ayahnya, salah satunya ketika anak laki-laki menukar gelas minum ayahnya dengan robot yang ia temukan. 

Ekspresi terabaikan dari diri anak laki-laki tersebut juga terlihat tatkala ia mencoret bahkan mengganti gambar wajah ayahnya dengan gambar robot. 

Sang ayah sendiri terlihat tak mampu mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya pada anaknya, karena ia hanya bisa menangis seorang diri di kamar, meratapi kehilangan dan kerinduan.

Untuk menutupi perasaannya, sang ayah selalu berusaha tegar, keras dan dingin, meski dalam hati yang terdalam terasa remuk redam.

Pemenang FFI 2020

Saya melihat Ryan telah berusaha keras dalam pembuatan film ini, ia tak hanya memberikan goresan dan gambar yang menakjubkan, tapi ia juga menyelipkan cinta pada setiap adegan di film ini, hingga setiap penonton yang menontonnya mampu merasakan makna yang tersimpan di film animasi pendek ini.

Dari apa yang Ryan sajikan di Film Prognosis ini, maka tak heran jika akhirnya Film Prognosis menjadi pemenang FFI 2020 kategori Animasi Pendek Terbaik.  

Film untuk Keluarga Indonesia

Hubungan dingin antara ayah-anak seperti yang ada di Film Prognosis ini sebenarnya banyak dialami para orang tua dan anak. Tak hanya orang tua tunggal yang bisa mengalaminya, namun juga orang tua yang masih lengkap (ada ayah dan ibu) juga bisa memiliki hubungan dingin dengan anak. 

Tak bisa dipungkiri, ada banyak orang tua tak bisa mengekspresikan rasa cinta dan sayangnya pada anak, begitu juga sebaliknya. Hingga hubungan orang tua dan anak akhirnya mengalami kekakuan, bahkan bisa jadi diam-diam tumbuh kebencian. 

Saya berharap Prognosis bisa menjadi tontonan bersama keluarga Indonesia, dimana anak dan orang tua bisa sama-sama belajar tentang cinta meski tanpa kata-kata, karena sesekali orang tua dan anak perlu untuk saling berpelukan atau bergandengan tangan untuk mengekspresikan rindu dan cinta.  

Bagi yang ingin menonton Film Prognosis ini bisa ke channel youtube milik Ryan Adriandhy :)





Read More

TILIK: Bu Tejo dan Realita di Sekitar Kita

Sabtu, September 26, 2020

Sejak diunggah pertama kali di kanal Youtube Ravacana Films tanggal 17 Agustus 2020. Film pendek Tilik sudah ditonton 10 juta viewers di hari ketujuh penayangannya (24 Agustus 2020) dan terus menanjak hingga 23 juta viewers sebulan setelah penayangan (26 September 2020).

Tak hanya ditonton jutaan penonton, tapi film Tilik juga terus menjadi perbincangan tak berkesudahan, tak hanya di dunia maya namun juga di forum-forum diskusi publik dengan pembicara para akademisi.

Poster Film Tilik

Kearifan Lokal dalam Budaya Tilik

Film yang didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta ini mengambil setting di wilayah Bantul-Yogyakarta dan secara apik mengangkat kebiasaan Tilik (menjenguk) para masyarakat desa saat ada salah satu tetangga yang sedang sakit di rumah sakit. 

Kebiasaan Tilik ini memang sangat lekat di tengah-tengah masyarakat Jawa, tak hanya Yogyakarta, tapi juga di Jawa Tengah. 

Poster Film Tilik, Animasi Version

Para ibu di Jawa memang memiliki solidaritas tinggi terhadap tetangganya, seperti yang ditampilkan dalam film Tilik, dimana para tetangga berbondong-bondong Tilik (menjenguk) di rumah sakit ketika ada salah satu warga yang ditimpa kemalangan. 

Biasanya para ibu ini akan memilih kendaraan yang bisa memuat banyak warga untuk berangkat tilik. Bisa truk seperti milik Gotrek, atau mobil pickup, pokoknya asal muat banyak. 

Kebiasaan Tilik ini tak pandang kaya atau miskin, semuanya dilakukan bersama meskipun cuma naik truk. Coba lihat saja Bu Tejo yang menggunakan banyak perhiasan emas di tangan dan lehernya, alih-alih naik mobil sendiri, dia lebih memilih naik truk bersama warga lainnya.   

Yu Nah

Selain kebiasaan Tilik yang coba diangkat dalam film ini, kearifan lokal lain juga ditampilkan, misalnya Yu Nah yang menghirup wangi kulit jeruk untuk menghilangkan mual karena mabuk kendaraan, juga Yu Ning yang memberikan karet untuk mengikat jempol saat Bu Tejo kebelet buang air kecil.

Baca juga: Kepingan Rindu yang Berserakan dalam Film Natalan

Tilik dan Pro Kontra yang Mengiringi

Tak hanya pujian yang diterima oleh Film Tilik ini, namun juga kritikan mengalir deras untuk film ini, salah satunya terkait film Tilik yang menurut pengkritiknya mendiskriminasi kaum perempuan. 

Mereka menganggap dalam film ini menstigma perempuan sebagai sosok yang senang ghibah, cerewet dan mau menang sendiri. Namun, apakah benar seperti itu? 

Sebagai sebuah karya seni, setiap orang memang bebas  menginterpretasi film Tilik. Seperti juga saya yang sebagai orang awam tidak melihat Tilik mendiskriminasi sosok perempuan, namun film Tilik mencoba memotret realita kehidupan apa adanya. 

Twist yang Dipersoalkan 

Selain karena keterlibatan perempuan sebagai tukang ghibah di film ini, banyak penonton juga mempersoalkan twist dari film ini yang dianggap berpihak dan memenangkan tukang nyinyir.

Apakah benar begitu? Apakah yang dikatakan Bu Tejo itu benar? Jika melihat fakta cerita dalam film tersebut, twist di akhir film tidak membenarkan komentar-komentar Bu Tejo. 

Pada awal-awal film, Bu Tejo berkomentar tentang Dian yang punya banyak uang dengan pekerjaan yang tidak jelas, apalagi Bu Tejo juga menyebut gosip tentang Dian yang hamil hanya karena Bu Tejo melihatnya muntah-muntah.

Apakah itu terbukti di akhir film? Jawabannya adalah tidak. Dian menjalin hubungan serius dengan mantan suami Bu Lurah, dan di sini tentunya Dian bukan pelakor, karena di pertengahan film juga disebutkan bahwa Bu Lurah sudah berpisah dari suaminya. 

Hal yang lumrah pastinya seorang perempuan menjalin hubungan dengan lelaki, justru jika kita merasa bahwa apa yang dilakukan Dian yang berhubungan di akhir film tidak benar, justru kita termasuk penonton yang memiliki pikiran sempit. 

Masyarakat di Indonesia memang masih memiliki pandangan nyinyir apabila ada perempuan muda yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang usianya yang lebih tua. Tak ayal pasti ada omongan yang akan menyebut jika perempuan muda tersebut hanya mengincar harta. 

Padahal, jika menonton film ini secara seksama, alasan Dian memilih ayah Fikri sebagai kekasih bisa jadi berhubungan dengan kisah hidup Dian yang sejak kecil ditinggal ayahnya sehingga ia merindukan kasih sayang sosok laki-laki dewasa. 

Tak Ada Manusia yang Sempurna 

Selain persoalan akhir film yang menampilkan Dian dan ayah Fikri, persoalan akhir film yang menjadikan Yu Ning menjadi sosok yang dipersalahkan juga menimbulkan pro kontra. 

Banyak penonton yang menyesalkan ending bagi sosok Yu Ning yang dari awal dibangun sebagai sosok yang lurus dan selalu berusaha menangkal hoax, tapi justru terkena bumerang kekeliruan kabar yang ia terima dan akhirnya ia sebarkan. 

Yu Ning

Nasib yang menimpa Yu Ning ini banyak yang menganggap meruntuhkan pesan yang sudah dibangun sejak awal di film ini. Seolah meluluhlantakkan pesan yang coba disajikan karena justru memenangkan sosok nyinyir seperti Bu Tejo. 

Tapi bukan sebuah kesalahan tentunya jika penulis naskah film Tejo ini memilih twist tersebut, karena sebuah film tak harus membawa pesan seperti yang penonton harapkan. 

Jika semua film harus membawa pesan baik, apa jadinya sebuah film yang ingin memotret realita nyata dalam masyarakat? 

Kenyataan itulah yang coba diwujudkan oleh Yu Ning dan Bu Tejo ini, bahwa tak ada manusia yang sempurna. Sebaik-baiknya Yu Ning menangkal hoax, ia justru terjebak pada kekeliruan kabar yang ia dapatkan. 

Begitu juga dengan Bu Tejo, meski dari awal ia terus saja nyinyir dan menjadi penyulut gosip, justru ia mampu meredam kekecewaan para ibu-ibu yang tidak jadi menjenguk Bu Lurah dan mengajak mereka untuk pergi belanja ke Pasar Beringharjo. 

Bu Tejo

Selain sikap Yu Ning yang anti hoax, sikap Bu Tejo yang mencoba mencari jalan keluar di tengah kekecewaan para ibu juga bisa kita contoh. Karena kita tidak pernah tahu kejadian sulit apa yang akan menimpa kita, sehingga mau tak mau kita harus ‘menjadi’ Bu Tejo yang solutif. (*) 


Read More

Kepingan Rindu yang Berserakan dalam Film Natalan

Jumat, Juli 10, 2020


Judul Film  : Natalan
Sutradara   : Sidharta Tata
Genre           : Drama
Pemain        : Mien Brodjo, Raymon Y. Tungka, Clara Soetedja
Tahun          : 2015
Produksi     : Kebon Studio Film – Dinas Kebudayaan Yogyakarta

Film Pendek Natalan adalah salah satu film bergenre keluarga tentang hubungan ibu dan anak
Poster Film Natalan 

Salah satu obat rindu adalah bertemu, tapi bagaimana jika pertemuan yang telah ditunggu-tunggu harus tertunda dan akhirnya tak ada jalan lain selain memeram rindu itu lagi dan lagi. Itulah tema besar yang coba diangkat dalam film pendek bertajuk Natalan.

Film pendek garapan Sidharta Tata dan didanai oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta ini berkisah tentang sosok Ibu (Mien Brodjo), yang menanti kepulangan Resnu (Raymon Y. Tungka) bersama istrinya, Dinda (Clara Soetedja) dari Jakarta menuju Yogyakarta di malam Natal.

Sebuah tema yang sederhana, namun ternyata memiliki makna mendalam, sedalam kasih sayang Ibu kepada anak yang seringkali tak pernah terucap.

Natal dan Liburan

Natal dan liburan memang tak bisa dipisahkan, begitu juga yang coba dibidik dalam film ini. Bagaimana muncul scene-scene kemacetan, juga kemunculan suara penyiar radio yang mengabarkan akan terjadi kepadatan dan membludaknya jumlah bus yang akan parkir di area sekitaran Malioboro pada malam Natal.

Dari beberapa scene ini mengabarkan bahwa disadari atau tidak, Natal ternyata sudah menjadi bagian yang penting dalam masyarakat Indonesia untuk berkumpul bersama keluarga, baik itu untuk merayakan Misa atau untuk sekadar liburan di akhir tahun.

Kesyahduan Adzan di Film Natalan

Penggunaan siaran radio sebagai pemberi kabar penting dalam film ini tak hanya muncul ketika membicarakan tentang kemacetan yang selalu hadir di Yogyakarta di malam Natal, namun juga memberi kabar tentang sikap MUI terhadap polemik pengucapan selamat Natal.

Meski berkisah tentang Natalan, namun Sidharta Tata juga menyisipkan lantunan adzan Maghrib dalam filmnya ini, hal ini tentunya menjadi sesuatu yang syahdu dan membuat hati hangat bagi siapapun yang menontonnya.

Kata yang Tak Terucap

Resnu yang terlihat begitu kalut sepanjang perjalanan menuju Yogyakarta, menjadi semakin kalut tatkala harus berhadapan dengan istrinya. Di sini terlihat jelas, ada hubungan yang minim komunikasi antara Resnu dan Dinda.

Bagaimana Dinda yang akhirnya ‘memaksa’ Resnu untuk lebih dulu hadir di Solo, padahal Resnu sendiri menyadari bahwa ia sudah sangat ingin sampai di rumah ibunya. Namun sayangnya, keinginan Resnu ini tak tersampaikan dengan baik, sehingga membuat ia harus mengikuti keinginan Dinda untuk bertemu keluarganya terlebih dahulu.

Padahal komunikasi antara pasangan sangatlah penting. Harusnya Resnu bisa mengutarakan keinginan dan harapannya pada Dinda. Dari ketiadaan komunikasi ini, justru membuat Resnu semakin kalut karena harus mengingkari janji pada ibunya.

Kasih Sayang Ibu itu Nyata

Kerinduan dan kasih sayang seorang ibu bisa jadi tak diungkapkan lewat kata, namun, kasih sayang itu tetap nyata. Seperti ibunda Resnu yang menyajikan kasih sayangnya lewat makanan yang ia masak dengan tangannya sendiri.

Ibunda Resnu juga selalu mendahulukan sosok Resnu dalam setiap pilihannya, seperti ketika membeli daging, Ibunda Resnu menolak ketika ditawari kikil dengan alasan anaknya (Resnu) tidak suka.

Tak hanya mendahulukan anak, sosok Ibu juga pintar menyembunyikan rasa sedih dan sakitnya. Seperti di akhir adegan,  betapa Ibunda Resnu dengan tegar mengatakan tak apa-apa jika Resnu menunda kedatangan karena ia belum menyiapkan apa-apa.

Padahal pohon natal di sudut ruangan menjadi saksi bisu, bagaimana semua hidangan tersaji lengkap di meja, menunggu pengobat rindu datang ke dalam pelukan.  

Film yang masuk nominasi Film Pendek Terbaik dalam FFI 2015 ini berhasil memotret sisi lain Natalan. Bahwa dalam Natalan, tak hanya ada kemeriahan dan kegembiraan, namun juga ada hati yang sepi dan penuh kepingan rindu yang berserakan. (*)

Read More

SUPER 30: Kisah Nyata Anand Kumar, Pejuang Pendidikan dari India

Rabu, April 08, 2020

Bagi para penggemar Bollywood, film Super 30 tentunya sudah tak asing lagi. Film yang rilis pada Juli 2019 ini diperankan oleh Hrithik Roshan yang tampil apik sebagai Anand Kumar, seorang Matematikawan dan pejuang pendidikan dari Patna, Bihar, India. 

Anand Kumar adalah sosok matematikawan yang cerdas, namun ia harus hidup dalam kemiskinan. Meski begitu, kemiskinan tak membuatnya putus asa. Kecintaannya pada ilmu dan matematika membawanya naik kereta selama 6 jam hanya untuk pergi ke perpustakaan dan membaca jurnal. Akan tetapi, ia justru diusir karena dianggap tak layak membaca jurnal itu. 

Poster Film Super 30
Hingga kemudian Anand Kumar kemudian mendapat informasi jika ia bisa mendapatkan kiriman jurnal gratis jika satu artikel yang dikirimkannya dimuat di jurnal tersebut. Dengan semangat yang kuat, Anand Kumar menulis jurnal dan mengirimkannya. Awalnya, Anand Kumar hanya berharap mendapatkan kiriman jurnal gratis, namun, ternyata hasilnya lebih dari itu, artikel Anand Kumar yang berisikan permasalahan matematika yang belum pernah dipecahkan, ternyata berhasil diselesaikan oleh Anand Kumar.

Anand Kumar pun mendapatkan undangan kuliah gratis di Cambridge. Namun, karena terkendala biaya Anand Kumar harus menyimpan impiannya tersebut. Kemalangan tak berhenti sampai di situ, ayahnya yang bekerja sebagai pegawai rendahan di kotanya meninggal karena sakit. Kematian ayahnya ini menjadi pukulan besar bagi Anand Kumar, bukan hanya karena tak ada lagi tulang punggung keluarga, tapi juga karena ayahnya adalah sosok yang selalu mendukungnya untuk belajar dan bisa mengubah nasibnya.  

Anand Kumar akhirnya harus bekerja untuk keluarganya, ia menjual Pappad (cemilan kerupuk khas India), hingga kemudian ia bertemu dengan Lallan Singh, seorang pemilik Bimbingan Belajar terkemuka. Lallan Singh mengajak Anand Kumar menjadi salah satu guru. Lallan Singh ‘menjual’ nama Anand Kumar, hingga banyak yang tertarik dan berani membayar mahal untuk masuk ke Bimbingan Belajar milik Lallan Singh.

Setelah bekerja sebagai guru di Bimbingan Belajar milik Lallan Singh, kehidupan Anand Kumar berangsur membaik, namun ia terseret pada arus hedonisme, hingga kemudian ia tersadar bahwa apa yang dilakukannya tak sesuai dengan nuraninya. 

Ia pun memutuskan untuk berhenti dan membuka Bimbingan Belajar Gratis untuk 30 anak-anak miskin di sebuah gubuk yang lusuh dan reot, Anand Kumar berusaha membantu mereka untuk bisa lulus masuk ke IIT, Indian Institute of Technology, sebuah intitut teknik paling terkemuka di India. Kisah selanjutnya dalam film ini pun menceritakan berbagai tantangan dan perjuangan Anand Kumar dan 30 muridnya untuk mencapai apa yang diimpikan.

Ketimpangan Sosial dalam Pendidikan
Salah satu yang disorot dalam film ini adalah adanya ketimpangan sosial yang begitu jelas antara yang kaya dan yang miskin, dimana pandangan umum masyarakat adalah yang berhak menjadi raja hanyalah anak raja.

Anand Kumar Mengajar di Gubuk Reot dan Lusuh

Sehingga hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati pendidikan yang bagus, inilah yang berusaha diubah oleh Anand Kumar. Bahkan, di film ini juga diperlihatkan dengan jelas bagaimana perbedaan antara murid-murid Anand Kumar yang miskin dan murid-murid Bimbingan Belajar yang kaya.

Murid-murid Anand Kumar menjadi minder, bahkan ada yang akhirnya pergi karena merasa terintimidasi dengan jauhnya jarak kelas sosial antara mereka. Rasa minder itu menggerus kemampuan mereka, dan membuat mereka tak mampu berkonsentrasi ketika mengerjakan soal.

Komersialisasi Pendidikan
Selain ketimpangan sosial yang begitu nyata, permasalahan lain yang diangkat dalam film ini adalah pendidikan yang dikomersilkan. Bahkan, Menteri Pendidikan pun menjadi sosok penting di balik komersialisasi pendidikan di film ini.

Bagaimana Bimbingan Belajar milik Lallan Singh yang dilindungi oleh Menteri Pendidikan menangguk untung besar saat Anand Kumar menjadi salah satu guru. Lallan Singh berusaha mengeruk uang sebanyak mungkin dari para orangtua murid yang ingin anak-anaknya masuk ke IIT.

Anand Kumar dan Murid-muridnya
Sedangkan di sisi lain, ada banyak anak-anak miskin yang memiliki potensi besar namun terhalang biaya untuk mendapatkan akses belajar yang baik. Inilah yang menjadi alasan Anand Kumar untuk membuka kelas Super 30.

Aksi Heroik dan Narasi Kisah yang Janggal
Sama dengan di film, aksi Anand Kumar di dunia nyata mendapatkan banyak tentangan dan intimidasi, bahkan setahun sebelum film ini dirilis, Anand Kumar masih mendapatkan ancaman dan intimidasi dari berbagai pihak.

Aksi heroik dalam film ini memang menjadi salah satu bumbu yang menarik, meskipun aksi heroik yang dilakukan para murid Super 30 berkaitan dengan keilmuan yang mereka dapatkan, akan tetapi terasa janggal ketika tiba-tiba mereka mendapatkan momen melawan preman dan bisa membuktikan keilmuan mereka. Yah, tapi karena ini film, aksi yang terkesan mengada-ada pun bisa dimaafkan, karena memang tidak semua hal di film ini adalah bagian dari kisah nyata, hanya sekitar 90% nya saja.

Selain itu, narasi kisah dalam film ini juga terasa janggal. Di awal film, terlihat bahwa yang mengisahkan Super 30 adalah Fugga, salah satu murid pertama Anand Kumar. Kisah mengambil alur mundur cerita kehidupan Anand Kumar sejak ia mendapatkan medali penghargaan dari Menteri Pendidikan. Hal ini terasa janggal, karena dari seorang Fugga bisa mengambil alur cerita yang detail dari sosok Anand Kumar, termasuk soal kisah cintanya.

Terlepas dari kekurangan film ini, film ini sangat layak untuk ditonton oleh para orangtua, para pendidik, juga para murid yang memiliki impian untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Secara keseluruhan saya memberikan nilai bintang 4/5 untuk film ini, karena berhasil menampilkan kisah biografi yang menginspirasi dan dapat menggugah penontonnya, khususnya dalam hal pentingnya pendidikan dalam kehidupan. (*)
Read More

I AM HOPE THE MOVIE, Berbagi Harapan untuk Saling Menguatkan

Kamis, Februari 18, 2016


Setiap orang pasti memiliki harapan-harapan baik dalam dirinya. Manusia dan harapan memang tidak bisa dipisahkan, akan tetapi, sebagian dari kita tak memiliki harapan yang sempurna karena harapan yang selama ini digenggam perlahan berguguran di tengah perjalanan kehidupan.

Padahal, bagi manusia, harapan adalah sumber kehidupan yang membuat kita tak lelah dan terus tetap tegar untuk bertahan menghadapi segala badai dan tantangan. Lalu bagaimana jika harapan perlahan menghilang? Akankah ia bisa kembali utuh?

Harapan bukanlah impian kosong karena di dalamnya terdapat ikhtiar serta doa yang dipanjatkan. Harapan itu serupa darah merah yang mengalir dalam tubuh, ketika seseorang kehilangan darahnya, maka kita pun bisa menyelamatkan hidupnya dengan berbagi aliran darah merah. Begitupun ketika seseorang merasa tak lagi memiliki harapan, bukan tidak mungkin kita juga bisa berbagi harapan yang kita miliki, karena percayalah, harapan adalah mata air kebahagiaan yang akan terus mengalir meski dibagi pada ribuan bahkan jutaan orang di dunia ini. 

Semangat untuk berbagi harapan inilah yang akhirnya menjadi penggerak awal dari tiga orang hebat dengan mimpi tak bertepi. Wulan Guritno, Janna Soekasah, dan Amanda Soekasah adalah tiga orang wanita hebat yang berhasil membangkitkan jutaan harapan lewat gerakan #HOPE. Lewat gerakan #HOPE ini, ada mimpi yang terus digenggam, yaitu bagaimana menumbuhkan semangat untuk terus berbagi, tak hanya berbagi harapan tapi juga berbagi kebahagiaan. 

Sejak 2014, semangat berbagi itu pun terus menerus disebarkan Wulan Guritno dan Soekasah Bersaudara pada dunia lewat gelang harapan, sebuah gelang yang dibuat dari Kain Pelangi Jumputan karya designer Ghea Panggabean.  

Gelang harapan ini bukanlah gelang biasa, karena di setiap ikatan kainnya memiliki makna bahwa terdapat banyak harapan yang saling bertautan sehingga saling menguatkan. Warna pelangi dari kain jumputan pun menjadi simbol harapan, serupa pelangi yang hadir setelah hujan. 

Gelang Harapan
Gerakan gelang harapan terus disebarkan oleh semua relawan & Warriors of Hope, yang mana gerakan ini terus menyebarkan harapan, khususnya bagi para pejuang kanker dan keluarganya.

Gerakan gelang harapan memiliki aktivitas kepedulian bernama ‘Journey of Hope’. Journey of Hope ini berupa penggalangan dana dengan menjual gelang harapan yang dilakukan secara langsung maupun lewat Care Entertainment di beberapa kota. Gerakan ini memiliki tujuan untuk membantu pasien kanker dari ekonomi tidak mampu di Indonesia.   

Bagi para pejuang kanker dan keluarganya, mendapatkan materi berupa uang yang dapat digunakan untuk membantu pengobatan memang penting, namun selain itu, mereka pun butuh pelukan serta tatapan mata persahabatan yang menguatkan. Itulah yang hendak diberikan oleh gerakan harapan, bukan hanya berbagi materi, namun juga berbagi kekuatan hati. 

Gerakan ini ingin menunjukkan bahwa para pasien kanker dan keluarganya tidaklah berjuang sendirian, karena mereka masih memiliki kita yang bersedia untuk berjuang bersama, dengan segenap hati, juga sepenuh harapan yang dimiliki.  

Semangat untuk berbagi kekuatan hati inilah yang kemudian mewujud pada gelaran Concert of Hope serta produksi I AM HOPE THE MOVIE, sebuah film yang menjadi salah satu bentuk kepedulian pada para cancer survivor yang mana sebagian keuntungan film ini digunakan untuk pengobatan para sahabat yang menderita kanker.

Poster I Am Hope The Movie

I Am Hope The Movie ini diproduseri oleh Wulan Guritno, Janna Soekasah dan Amanda Soekasah, serta disutradarai oleh Adilla Dimitri. I Am Hope The Movie ini juga didukung oleh artis-artis kenamaan dari generasi berbeda, yang mana aktor dan aktris senior bersinergi apik dengan aktor dan aktris muda Indonesia. 

Tatjana Saphira dan Fachry Albar telah berhasil menuangkan harapan lewat akting mereka bersama Tio Pakusadewo, Ray Sahetapy, Fauzi Baadilla, Kenes, Feby Febiola serta aktor dan aktris lainnya. 

I Am Hope The Movie ini berkisah tentang Mia (Tatjana Saphira) seorang cancer survivor yang memiliki impian untuk membuat sebuah pertunjukan teater. Akan tetapi, impiannya tersebut hampir pupus tatkala ia divonis mengidap kanker. 

Seperti de javu, Mia juga teringat pada ibunya yang telah meninggal karena penyakit ini. Bayangan kesedihan pun menghantui Mia yang mana ia justru ingat kesedihan ayahnya (Tio Pakusadewo) saat ibu Mia tiada, selain itu Mia pun takut jika ketika Tuhan nanti mencabut nyawanya, ia belum sempat menggapai mimpinya. 

Mia jatuh bangun menggapai impiannya, hingga kemudian ia bertemu dengan David (Fachry Albar) yang mana memberikan kepercayaan dan harapan bahwa Mia dapat menggapai mimpinya. 

Akan tetapi, untuk mewujudkan impiannya untuk membuat suatu pertunjukan teater ternyata tak semudah yang dibayangkan. Akankah Mia dapat mewujudkan mimpi besarnya ini di tengah perjuangannya melawan penyakit kanker yang bersarang di tubuhnya? 

Jika penasaran seperti apa I Am Hope The Movie ini, anda bisa melihat teasernya di 



Tak hanya didukung oleh akting apik dari para aktor dan aktris kenamaan Indonesia saja, namun kisah dalam film ini menjadi lebih hidup tatkala kita mendengar OST I Am Hope The Movie yang berjudul Nyanyian Harapan. 

Warrior of Hope

Original Soundtrack I Am Hope The Movie ini dibawakan oleh RAN dan Warrior of Hope. Siapakah Warrior of Hope itu? Mereka adalah anak-anak hebat yang gigih berjuang melawan kanker. Ingin mendengar nyanyian harapan mereka? Kita bisa mendengarkan lewat https://goo.gl/NJcL5I atau kita juga bisa mendownload lagu mereka di itunes.


Februari, Bulan Berbagi Cinta dan Harapan
Sejak awal tahun 2016, semangat harapan I Am Hope The Movie memang terus menerus digaungkan, tak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya lewat adanya beberapa kompetisi yang diadakan oleh Yayasan Dunia Kasih Harapan & Alkimia Production bekerjasama dengan Berlian Entertainment & Media Carita Digital Uplek.com, seperti kompetisi Blog, Twitter, Instagram, dan Live Tweet. 

Pada bulan Februari ini kita diberi banyak kesempatan untuk berdonasi tak hanya lewat tiket film I Am Hope yang kita beli, namun kita pun juga diberi kesempatan untuk bisa berbagai lewat beragam kompetisi yang bisa kita ikuti, dengan mengikuti kompetisi tersebut, kita pun sama halnya dengan menyebarkan harapan di bulan yang penuh cinta ini.  

Tentunya kita tahu bahwa Februari adalah bulan yang identik dengan cinta karena di dalamnya ada Hari Valentine yang jatuh setiap tanggal 14 Februari. Namun, tak hanya bulan cinta, karena Februari ini juga merupakan Bulan Kanker dimana tepat tanggal 04 Februari diperingati sebagai World Cancer Day atau Hari Kanker Sedunia. 

Tanggal 04 Februari 2016 lalu, untuk mendukung film ini serta memperingati World Cancer Day 2016 diadakan pula I AM HOPE Concert di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bulan Februari ini, tak hanya ada harapan yang disebar lewat musik dan layar lebar, akan tetapi juga lewat kata-kata dalam novel I Am Hope yang ditulis berdasarkan  I Am Hope The Movie.  

I Am Hope Concert


Novel I Am Hope
I Am Hope The Movie yang diputar perdana pada 18 Februari 2016 ini juga menunjukkan bahwa pada bulan Februari bukan hanya waktu yang tepat untuk berbagi cinta pada sesama, akan tetapi juga waktu yang tepat untuk berbagi harapan. Bukankah cinta dan harapan merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan? 

Akhir Kisah Mia dan Harapannya....
Saat menonton teaser I Am Hope The Movie tentunya kita memiliki berbagai macam harapan tentang kehidupan Mia dalam film tersebut, begitupun dengan saya.

Saya memiliki harapan besar bahwa kisah Mia ini akan berakhir dengan Happy Ending, bukankah dalam akhir yang bahagia selalu terselip harapan baik di hati kita? Meski Mia jatuh bangun, harapan saya Mia tak pernah pantang menyerah mewujudkan impiannya untuk membuat sebuah pertunjukan teater. 

Meskipun tubuhnya lemah karena kemoterapi, lewat dukungan David, ayahnya, serta sahabatnya Maia, akhirnya Mia bisa berhasil mempertunjukkan sebuah kisah yang indah dalam teaternya. 

Bahkan, Mia tak seorang diri, karena di gedung pertunjukan tempat teaternya dipentaskan, banyak cancer survivor yang diundang khusus oleh David untuk ikut menonton pertunjukan tersebut dan itu membuat Mia begitu bahagia, karena lewat pertunjukan yang ia buat di tengah kesakitan yang dirasakannya, ia tak hanya bisa menumbuhkan harapan di hatinya dan orang-orang yang mencintainya, akan tetapi juga menumbuhkan harapan para cancer survivor yang menonton pertunjukannya. “Semoga selalu ada harapan yang akan terus tumbuh dalam diri mereka,” harap Mia dalam hatinya. 

I Am Hope The Movie, 18 Februari 2016
Ingin berbagi harapan pada sesama? Jangan lupa saksikan I Am Hope The Movie, mulai tayang perdana tanggal 18 Februari 2016 di bioskop-bioskop kesayangan kamu. Jangan lupa ajak orang-orang tersayang untuk ikut berbagi harapan lewat film ini ya ^_^ (*) - Richa Miskiyya

“PRE SALE @IAmHopeTheMovie yang akan tayang di bioskop mulai 18 februari 2016. Dapatkan @GelangHarapan special edition #IAmHope hanya dengan membeli pre sale ini seharga Rp.150.000,- (untuk 1 gelang & 1 tiket menonton) di http://bit.ly/iamhoperk Dari #BraceletOfHope 100% & sebagian dari profit film akan disumbangkan untuk yayasan & penderita kanker sekaligus membantu kami membangun rumah singgah.
Follow Twitter @Gelangharapan dan @Iamhopethemovie
Follow Instagram @Gelangharapan dan @iamhopethemovie
Follow Twitter @infouplek dan Instagram @Uplekpedia
#GelangHarapan #IamHOPETheMovie #BraceletofHOPE #WarriorOfHOPE #OneMillionHOPE #SpreadHope”

Read More