Hai, para pembaca yang
budiman, hehehe. Jika sebelumnya isi blog ini adalah cerpen atau review novel.
Kali ini aku mau cerita tentang catatan perjalananku ke Borneo aka Banua aka
Kalimantan. Sebenarnya ini perjalananku bulan lalu, sih. Tapi karena kesibukan
kuliah dan setumpuk tugas baru sempet ditulis sekarang :D
Sebelum aku cerita soal perjalananku di Borneo, tepatnya
di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Aku mau cerita dikit gimana aku bisa sampai
ke sana, yaaa ^_^. Cekidot.
Sebagai anak masa kini, tahu dong kalau sosmed udah jadi
salah satu kebutuhan hidup masa kini selain pulsa dan bensin. Tiap hari, baru
buka mata eh langsung buka sosmed, iya, kan? Hayoo, ngakuuu. Nah, ceritanya,
suatu hari ada pengumuman lomba nulis surat di twitternya Penerbit Moka. Lomba
nulis surat ini tentang Novel Galuh Hati karya Mas Randu Alamsyah bertajuk ‘Surat
untuk Abul’. Udah lama ngincer novel ini sejak diworo-woroin di time line Moka
Media, tapi lagi-lagi belum sempat beli gara-gara duitnya udah habis duluan
buat jajan (heheh). Nah, gara-gara ada Lomba Surat untuk Abul ini, hasrat beli
buku ini semakin menjadi.
Singkat cerita, aku pun beli novel Galuh Hati yang bercerita tentang kehidupan para penambang intan di Cempaka, Banjarbaru. Isi novelnya
keren lho, makanya aku bisa baca selama 4 jam langsung. Penasaran? Bisa beli
kok di toko buku seluruh Indonesia :D
Dua hari setelah kirim tuh surat, aku dapat telpon dari
Mas Harie, adminnya On Off Solutindo sebagai penyelenggara lomba yang bilang kalau aku jadi pemenang Lomba
Surat untuk Abul yang hadiahnya jalan-jalan ke penambangan intan di Cempaka,
Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tiga hari setelah dapat telpon itu, aku capcus
deh ke Borneo ^_^
Aku di Borneo selama 3 hari 2 malam, tepatnya di Kota
Banjarbaru yang membuatku jatuh cinta dengan segala keunikan kotanya,
budayanya, serta keramahtamahan masyarakatnya. Untuk lebih jelasnya ini
ceritaku selama di sana ^_^
Day
1 (18 April 2014)
Aku terbang dari Bandara Ahmad Yani – Semarang pukul
15.00 WIB, tiba pukul 17.30 WITA di Bandara Syamsudin Noor – Banjarbaru,
KalSel. Sampai di bandara, aku udah ditungguin sama kakak cantik yang ternyata
Duta Wisata Kota Banjarbaru.
Sebelum ke hotel, aku diajak sama si kakak cantik bernama
Syidah ini makan makanan khas Banjarbaru, nama makanannya ‘Pais Patin’ atau
kalau di Jawa mirip-mirip pepes ikan patin gitu deh. Maaf, ya, gak ada fotonya,
awalnya sih mau foto tuh Pais Patin, tapi takut dikira alay sama si kakak
cantik. Hohoho.
Malamnya aku harus ke Balaikota buat Gladi Resik acara
malam HUT Kota Banjarbaru ke -15. Masih baru, kan? Karena kota ini memang
wilayah pemekaran sejak tahun 1999.
Sampai di depan balaikota aku ketemu sama
Yosef, ketua Pawadahan Nanang-Galuh Kota Banjarbaru. FYI dikit ya, Pawadahan Nanang Galuh ini adalah semacam
perkumpulan anggota duta wisata Kota Banjarbaru. Nanang-Galuh itu sebutan
semacam Abang-None di Jakarta atau Kenang-Dhenok di Semarang.
Karena acara Gladi Resik belum dimulai, Yosef bawa aku
muterin Lapangan Murjani (pusat kota) kemudian ke Minggu Raya (tempat
berkumpulnya para seniman Banjarbaru), lalu ke Taman Van Der Pijl. Lumayan jauh
sih sebenarnya, tapi karena kakiku udah terlatih buat jalan jauh, ya oke-oke
sajalah ^_^.
Sebelum Gladi Resik dimulai, aku bertemu dengan Ibu Lesa
(Kepala Dinas Pariwisata sekaligus Ketua Panitia HUT Kota Banjarbaru Ke-15) dan
gak ketinggalan, ketemu Abul, eh maksudnya Mas Randu Alamsyah penulis novel
Galuh Hati yang kece badai, hohoho :D.
Ngapain aku ikut
GR HUT Kota Banjarbaru Ke-15? Karena aku dan Mas Randu Alamsyah
akan berdampingan membacakan pengantar Novel Galuh Hati dan Surat untuk Abul
yang aku tulis pada acara puncak HUT Kota Banjarbaru bertajuk One Night for
Cempaka. Sebelum balik ke hotel, nggak ketinggalan minta tanda tangan dulu sama
penulisnya Novel Galuh Hati. 'Jadilah Galuh Hati untuk Cempaka', tulis Mas Randu di atas tanda tangannya. So Sweet ^_^
Me and Mas Randu Alamsyah |
Day
2 (19 April 2014)
Go To Cempaka
Aku janjian sama
Yosef dan Risman yang mau nganterin aku ke penambangan intan, tepatnya di Desa
Pumpung, Cempaka, Banjarbaru. Selain Yosef dan Risman, aku ditemenin juga sama
Fika yang juga Galuh Banjarbaru.
Bisa dibayangin dong gimana rasanya dikelilingi
orang-orang yang paham banget soal pariwisata kotanya, berasa nonton film
dokumenter, hehehe. Apa sih yang dijelasin Fika, Yosef, dan Risman selama
perjalanan menuju Cempaka? Berikut ini ringkasannya :)
Kalau dengar kata Kota Intan, pastinya yang ada di
pikiran kita adalah Martapura? Iya, kan? Padahal sebenarnya, Martapura ini cuma
tempat penyepuhan serta tempat jual beli intan aja, dan tempat pertambangan
intan aslinya itu di Cempaka. Cantik kan nama desanya? Kayak nama bunga yang sering dipakai riasan pengantin ^_^. Di Cempaka, intan disebut juga dengan Galuh, sama
ketika menyebut wanita. Intan dan Wanita, emang sama-sama cantik, kan? ^_^
Cempaka itu letaknya dalam wilayah kota Banjarbaru. Kota
ini sebenernya udah ada sejak puluhan tahun yang lalu yang mana tata kotanya
dirancang sama Van Der Pijl yang kemudian namanya diabadikan menjadi nama taman
kota, soalnya Van der Pijl ini emang konsen banget dengan adanya ruang terbuka
hijau.
Banjarbaru ini bisa dibilang unik lho, karena letaknya di
gunung tempat para penambang intan di Cempaka beristirahat. Makanya, saking
banyaknya para penambang itulah, akhirnya banyak pemukiman di daerah Banjarbaru.
Puncak dari Gunung Apam ini masih bisa lho dilihat sampai
sekarang, bisa dikatakan ini adalah tempat tertinggi di kota Banjarbaru yang
saat ini menjadi tanjakan tertinggi dari Banjarbaru menuju Martapura, tepatnya
di Depan Bank BRI Banjarbaru.
Nama Banjarbaru ini sebenarnya adalah nama yang tidak
disengaja, dulu gubernur pertama Banjarbaru ditanya apa nama wilayah yang
didiaminya, karena bingung disebutlah Banjarbaru (Kota Banjar yang baru) yang
ternyata bertahan hingga sekarang.
Balik lagi ngomongin Cempaka. Cempaka ini adalah sebuah
wilayah kecamatan yang didalamnya terdiri dari beberapa desa, salah satunya
adalah Desa Pumpung. Asal tahu aja, hampir seluruh penduduk desa ini mata
pencahariannya adalah sebagai pendulang intan dan tempat ini juga menjadi
satu-satunya tempat pendulangan intan di dunia yang masih menggunakan cara
tradisional.
Berbeda
dengan Banjarbaru yang penduduknya bukan asli Kalimantan Selatan, dan bahkan
banyak yang berasal dari luar Pulau Kalimantan. Di Desa Pumpung ini penduduknya
masih asli bukan pendatang dan mereka bekerja menjadi pendulang intan secara
turun-temurun sejak masa Hindia-Belanda.
Jarak
Desa Pumpung sendiri adalah 7 km arah tenggara dari Kota Banjarbaru. Saat masuk
jalan kampung, di sebelah kiri jalan ada monumen yang di bagian puncaknya ada
hiasan intan buatan yang besarnya serupa kepala kerbau.
Hiasan
intan yang ada di puncak tugu itu sebagai tanda kebanggaan atas penemuan intan
besar seberat 166,75 di tahun 1965 yang kemudian Presiden Soekarno memberi nama
Intan Trisakti. Tapi,
situasi perekonomian yang waktu itu karut marut, harga Intan Trisakti yang
seharusnya 10 Trilyun rupiah, berubah jadi 3,5 juta rupiah. Dan yang lebih
tragis lagi, keberadaan Intan Trisakti yang menjadi kebanggaan warga Desa
Pumpung udah gak tahu lagi dimana rimbanya.
Mungkin
karena itu juga monumen Intan Trisakti ini udah nggak lagi terurus, catnya udah
pudar dan disekelilingnya juga banyak ditumbuhi semak belukar.
Sebelum
sampai ke tempat pendulangan, kami melewati para pendulang yang sedang asyik mawarung (makan di warung), menikmati wadai
41, kue khas banjar yang terdiri dari 41 macam.
Tak
lama, kami akhirnya masuk ke kawasan pendulangan. Sepanjang mata memandang
adalah tanah kuning seluas 4 hektar yang memiliki banyak cerukan lebar bekas
pendulangan intan.
Salah
satu pendulang mengajak kami ke sebuah cerukan yang di dalamnya sedang di
lakukan pendulangan. Sebelum sampai ke cerukan tersebut, kami harus melewati
beberapa cerukan yang sudah tak lagi digunakan. Di bagian lain terdapat
bambu-bambu melintang bernama Kasbuk serta
mesin genset yang menyedot air untuk membuat lubang baru.
Kasbuk di Pendulangan Intan |
Dari
beberapa cerukan yang aku lewati, cerukan-cerukan tempat mendulang intan punya
kedalaman yang bervariasi, dari satu meter hingga belasan meter. Cerukan-cerukan
itu terlihat sepi, gak banyak yang mendulang karena cuaca emang lagi panas
banget di siang hari. Katanya tempat pendulangan ini akan ramai saat sore hari.
Pendulangan biasanya dilakukan secara berkelompok sehingga hasil dari pendulangan akan dibagi sejumlah orang yang berada dalam kelompok tersebut. Nggak lama, kami udah sampai di sebuah cerukan dimana seorang pendulang sedang melinggang. Melinggang adalah aktivitas mencari intan menggunakan linggangan, sebuah alat berbentuk caping terbalik yang terbuat dari kayu ulin atau kayu jingga.
Pendulangan biasanya dilakukan secara berkelompok sehingga hasil dari pendulangan akan dibagi sejumlah orang yang berada dalam kelompok tersebut. Nggak lama, kami udah sampai di sebuah cerukan dimana seorang pendulang sedang melinggang. Melinggang adalah aktivitas mencari intan menggunakan linggangan, sebuah alat berbentuk caping terbalik yang terbuat dari kayu ulin atau kayu jingga.
Pelinggang
itu menenggelamkan tubuhnya sampai sebatas leher, mengambil pasir dan lumpur
yang berada di dasar cerukan kemudian ia menggoyangkan linggangan untuk
menemukan butiran-butiran intan.
Aktivitas Melinggang Galuh |
Penasaran,
aku pun mencoba melinggang dari tepian cerukan, dan ternyata oh ternyata linggangan yang bentuknya sangat halus
dan rapi karena memang dibuat khusus untuk melinggang lumayan berat,
sodara-sodara. Jadinya aku cuma nunggu si bapak pendulang intan, siapa tahu
dapat intan hehe.
Icha Melinggang ^_^ |
Tapi
ternyata nungguin intan itu sampai ketemu nggak sebentar. Kata Bapak
Pendulangnya, mendulang zaman sekarang
udah nggak kayak dulu lagi. Kalau dulu bisa dapat intan 10 gram tiap
hari, tapi sekarang harus sabar melinggang berminggu atau berbulan-bulan lebih
dulu untuk mendapatkannya.
Para
pelinggang juga harus jeli buat nemuin intan dan harus bisa bedain mana intan,
batu akik, atau batu biasa karena di tempat pendulangan intan ini emang nggak
hanya ada intan aja, tapi juga banyak batuan mulia yang lainnya kayak delima,
safir, dan kecubung. Pendulang yang tadi
mengantar kami nunjukin aneka batuan mulia serta intan dari dalam tas
pinggangnya. Batu-batu mulia itu disimpan dalam lipatan kertas rokok, mataku
langsung bling-bling rasanya lihat intan dan batu mulia yang warna-warni itu.
Intan dan Batuan Mulia |
Mendulang
intan juga nggak boleh dilakukan sembarangan, ada aturan yang harus dipatuhi,
seperti nggak boleh meludah dan ketika melinggang juga harus menyebut intan
dengan sebutan ‘Galuh’. Sebelum mendulang juga ada ritual khusus yang dilakukan
untuk menemukan tempat yang tepat untuk melakukan pendulangan, jadi nggak boleh
sembarangan.
Penasaran dengan cerita selanjutnya? Apa aja sih yang aku
lakuin di Banjarbaru? Tunggu di Borneo, I’m In Love – Part 2, ya ^_^
hati2 dg randu... dia playboy :D
BalasHapus